Catatan Bang One

Masihkah Jabatan Dianggap Anugerah

VIVAnews -- Kamis malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan nama-nama kabinet baru. Para kandidat Menteri, yang walaupun, sudah difit dan proper test Presiden, sebelumnya, di layar televisi, kelihatan tegang menunggu pengumuman.

Pengakuan Pelatih Yordania Jelang Laga Lawan Timnas Indonesia U-23

Begitu nama mereka diumumkan, sukacita, pun merebak. Ada yang mendapat pelukan bahagia dari semua kerabat dan teman, ada pula yang sujud syukur.

Di satu sisi keharuan dan kegembiraan itu wajar. Sebab jabatan menteri bagi politikus dan sebagian orang adalah puncak karir, dan cita-cita. Sebab itu, tidak mengherankan kalau sejak Pilpres berakhir, berbagai kasak-kusuk sudah berlangsung.

Lobi-lobi berlangsung diam-diam dan terang-terangan. Bahkan berbagai partai politik yang semula kelihatan berseberangan dengan partai Demokrat dan SBY, mulai merapat begitu pemilu legislatif dimenangkan demokrat. Seolah menafikan suara pemilih mereka sendiri, yang dari awal menentukan pilihan ke mereka, dan bukan ke partai demokrat.

Karena itu, adalah wajar, kegembiraan, keharuan, dan peluk cium meledak ketika seseorang ditetapkan sebagai menteri. Soalnya, jabatan itu, sudah mereka perjuangkan dengan segala daya dan upaya.

Hanya saja di sisi lain, kegembiraan para Menteri, dan keluarga serta kerabat itu seolah-olah mencerminkan, bahwa jabatan itu adalah anugerah dan bahkan rezeki. Kurang terkesan, bahwa yang diumumkan Presiden itu, adalah beban dan tanggung jawab bagi nama yang disebut.

Sangat menarik kalau Kiyai Zainuddin M.Z siang ini, di TV One,  mengingatkan, bahwa ketika Umar bin Abdul Azis diangkat jadi kalifah, ia justru menangis dan berucap "Innalillahi Wainna Lilallahi rajiun". 

Dalam konteks ini, Umar sangat sadar bahwa jabatan yang diembannya, adalah tanggung jawab yang amat besar dunia dan akherat. Ia menangis karena tidak yakin bahwa ia mampu mensejahterakan rakyatnya dan harus berlaku adil.

Sikap seperti juga sangat terlihat pada para pemimpin kita di awal kemerdekaan.  Pada tahun 1950-1959, para pemimpin politik Indonesia berjuang sesuai ideologi yang ada padanya, dengan tujuan kemakmuran rakyat. Ia konsekwen dengan itu.

Mislanya, orang PNI, tidak akan mau diangkat jadi menteri bila perdana menteri adalah Masyumi. Mereka tidak akan membuang ideologi, keyakinan hanya sekedar mendapat jabatan.Begitu pula sebaliknya.

Apalagi PKI dan Masyumi yang memang bertentangan. Kaum profesionalnya juga punya prinsip. Ia, akan menolak jabatan kalau merasa jabatan itu bukan bidangnya.

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

Misalnya seorang insinyur diberi jabatan Menteri Keuangan, pasti akan ditolaknya. Bahkan seandainya sesuai bidangnya, ia juga akan menolak, bila ia merasa tidak punya kemampuan untuk menjabat Menteri.

Kenapa? Karena semua orang yang diangkat merasa jabatan itu adalah tanggung jawab dan bukan anugerah. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di dunia atas jabatan yang diembannya, tapi juga di akherat nanti.

Idealisme semacam itulah yang sudah lenyap sejak pemerintahan Orde Baru. Orang tidak segan membuang ideologi, keyakinan, prinsip untuk mencapai jenjang kekuasaan. Bahkan orang sekarang juga tidak malu menjilat ludah sendiri demi jabatan. Sehingga pertanyaanya, kekuasaan jadinya untuk apa?

Kalau jawabannya untuk diri sendiri, keluarga, kerabat dan kelompok, tampaknya kesejahteraan rakyat Indonesia, memang masih terlalu jauh untuk menjadi kenyataan.

Nikita Mirzani Beberkan Pemicu Kandasnya Jalinan Asmara Hingga Soal Kesetiaan

Oleh: Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi tvOne

Pemain Timnas Indonesia U-23 rayakan gol Komang Teguh

Dominasi Skuad Timnas U-23 di Piala Asia, Menpora Dito Akan Terus Maksimalkan PPLP dan SKO

Menpora Dito Ariotedjo buka suara terkait jebolan PPLP, PPOP, dan SKO Kemenpora mendominasi skuad Timnas Indonesia U-23 saat mengalahkan Australia.

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024