Rapat Perppu Ormas, DPR Undang Cendekiawan Muslim

Komarudin Hidayat
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Setelah mendengarkan pandangan pemerintah pada Senin kemarin, rapat yang membahas Perppu Ormas di Gedung DPR RI kembali dilanjutkan dengan mendengarkan pendapat pakar pada Selasa, 17 Oktober 2017 ini.

Saksi Ahli HTI Tak Tahu Organisasinya Dilarang Banyak Negara

Cendekiawan Muslim yang diundang, Komarudin Hidayat menilai, HTI sebagai gerakan dakwah wajar saja. Namun ketika gerakan itu bersifat struktural untuk berhadapan dengan negara, maka dia bisa berbenturan dengan hukum karena tidak mengikuti aturan main di negara setempat.

"Kalau gerakan transnasional itu dakwah enggak apa-apa. Muhammadiyah dan NU kan juga dakwah, dipengaruhi dari luar, dari Timur Tengah, dari Arab. Tapi kalau itu kemudian anti negara Pancasila, nah di situ persoalannya," kata Komarudin Hidayat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

PKS Dorong Revisi UU Ormas

Menurut Komaruddin, jika HTI memang benar-benar dilarang dan para anggotanya masih ingin berdakwah, maka dia bisa mendirikan ormas baru atau bergabung dengan ormas lain.

"Kalau dia ingin dakwah dan cinta Indonesia, solusinya mudah aja. Buat aja ormas baru, atau dia ikut partai aja, terus dia dakwah. Di Indonesia ini bebas mendirikan ormas apapun boleh, partai apapun boleh, asal tidak melawan Pancasila, kan itu di Indonesia," ujar dia.

Tak Masuk Prolegnas, Kegentingan UU Ormas Dipertanyakan

Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai, paham kekhalifahan sebagai bahan kajian ilmiah sah-sah saja untuk dipelajari sebagai bahan pengetahuan. Termasuk dengan paham-paham lain.

"Saya sebagai masyarakat ilmuwan, kalau kekhalifahan sebagai wacana diskusi ilmiah, biasa kita pelajari. Komunisme biasa kita pelajari. Tapi kalau sebagai gerakan struktural, dia akan berhadapan dengan negara dan hukum," kata dia.

Sebelumnya, pemerintah memberikan pandangan dalam rapat pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini memiliki urgensi kegentingan yang memaksa.

Tjahjo menjelaskan, Perppu ini melihat tiga hal kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Atau katanya, ada undang-undang tersebut tetapi dinilai tidak memadai.

"Ketiga. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," kata Tjahjo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 16 Oktober 2017. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya