Mahfud MD: DPR Tak Bisa Terapkan Angket atas KPK

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah pemerintah. Maka, tidak tepat bila DPR menerapkan hak angket atas KPK, yang bukan bagian dari lembaga eksekutif maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Mahfud: Sikap Presiden Jelas soal Pemilu 2024, Jangan Didesak Lagi

Demikian menurut Mahfud saat diundang Panitia Khusus angket KPK di DPR hari ini. Dia dimintai pendapat sebagai pakar hukum, yang berbicara mengenai keabsahan pansus angket KPK.

Mahfud menjelaskan dalam istilah pemerintahan ada yang bersifat generik dan spesifik. Dalam ilmu konstitusi, pemerintah generik mencakup semua lembaga negara hingga ke tingkat RT.

Mahfud Bantah Nama Soeharto Dihilangkan dari Sejarah

"Itu dikatakan pemerintah karena dia dibentuk secara resmi dan dibiayai negara," kata Mahfud dalam diskusi dengan Pansus KPK di gedung DPR, Jakarta, Selasa 18 2017.

Ia melanjutkan hanya saja dalam konstitusi Indonesia dan tata hukum, pemerintah mengacu pada arti sempit hanya pada lembaga eksekutif. Hal itu tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 UUD.

Cabut Status Tersangka Nurhayati, Mahfud: Biar Orang Berani Melapor

"Kalau ada kata pemerintah pasti lembaga eksekutif. Kalau DPR rapat dengan pemerintah itu pasti dengan eksekutif. Meskipun arti luas MA, MK, BPK ya pemerintah. Tapi di UUD, pemerintah ya eksekutif," tuturnya.

Dalam kaitan dengan pansus hak angket KPK, Mahfud menjelaskan sesuai UU MD3 objek yang bisa diangketkan hanya kebijakan pemerintah. Sementara KPK, menurutnya, bukanlah pemerintah.

"Teori yang sekarang, berbagai teori yang berkembang sama sekali tidak bisa disebut bahwa KPK bukan pemerintah, apalagi dikaitkan trias politica. Semenjak Indonesia lahir tidak pernah menganut trias politica. UUD 1945 yang asli itu Panca As Politica. Lima poros kekuasaan. Sekarang Hasta As Politica delapan poros kekuasaan," kata Mahfud.

Ia menjelaskan komisioner KPK tidak diangkat oleh presiden, tapi diresmikan oleh keputusan presiden. Sama dengan MK ataupun Mahkamah Agung, Pimpinan KPK bukan bawahan presiden. Habis masa jabatannya berlaku ketika berhenti, mengundurkan diri, meninggal atau terpidana.

"Semua tugas KPK justru berkaitan dengan lembaga yudikatif. Teori bisa berdebat banyak," kata Mahfud. Ia juga mengacu pada putusan MK nomor 12, 16, 19 tahun 2006. Disebutkan KPK bukan menjadi bagian pemerintah. Tapi KPK bertugas dan berwenang dengan kekuasaan kehakiman.

"Menurut saya KPK tidak bisa diawasi dengan angket, bisa diawasi banyak. Pertama, sejarahnya KPK ditunjukkan kepada pemerintah. Dulu kan angket mosi tak percaya saat parlementer, lalu masuk UUD saat sistem presidensial tujuan bagus pemerintah bisa diangket," kata Mahfud.

Dalam UU MD3 juga diatur, ia menjelaskan setiap pejabat negara dapat menjadi subjek angket. Tapi tidak semua bisa diselidiki melalui angket. KPK bisa diawasi, tapi bukan dengan angket.

"Kalau mengawasi KPK bukan angket. Kalau keuangan oleh BPK, KPK bisa melanggar, bisa ditangkap ada buktinya. Ada orang KPK ditangkap di Bandung. Kalau pidana, ada polisi, jaksa dan pengadilan," ujar Mahfud.

Soal masalah etik anggota KPK, Mahfud menyebutkan ada dewan etik atau dewan kehormatan. Sehingga tak ada lembaga di negara hukum yang tak bisa diadili. Tapi, masing-masing ada jalurnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya