Alasan Pemilu di RI Belum Bisa Terapkan E-Voting

Teknologi E-Voting Pilkada
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Pemerintah merencanakan penggunaan pemilihan umum elektronik atau e-voting dalam Pemilu 2019 mendatang. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengatakan Indonesia belum siap menggunakan sistem yang digunakan di berbagai negara maju, seperti pemilu di Amerika Serikat.

1.700 Desa Sudah Gunakan E-Voting dalam Pilkades, Menurut BRIN.

"KPU sudah membuat kajian, dan sampai saat ini tidak memungkinkan untuk melakukan e-voting," kata Arief di kantor KPU Pusat, Jakarta, Selasa 2 Mei 2017.

Menurut Arief, dari hasil kajian yang dilakukan KPU, minimal ada enam hal yang menyebabkan e-voting belum bisa diterapkan di Indonesia. Mulai dari sisi teknologi, investasi, kondisi geografis, infrastruktur sampai kultur masyarakat Indonesia.

5 Negara di Dunia yang Menerapkan E Voting pada Pemilu

"Investasi mesin e-voting besar. Mesin harus ada di setiap TPS. Mesin itu tidak bergerak sendiri butuh saluran listrik. Pertanyaanya, apakah di semua TPS ada saluran listrik?" ujar Arief.

Selain itu, masalah pemeliharaan dan pengoperasian mesin e-voting harus diperhitungkan matang. Karena bila mesin e-voting rusak hal tersebut bisa mengganggu pelaksanaan pemilu.

Kasih Penghargaan Lewat Metode E-Voting

"Sementara hingga saat ini masih banyak KPU kabupaten/kota yang kantornya saja ngontrak. Gudang tidak punya. Alat itu harus dirawat dengan baik, kalau tidak, tidak bisa digunakan pemilu berikutnya. Bisa nggak kita merawat dengan standar itu," ucapnya.

Kemudian, masalah lain yang muncul adalah terkait perkembangannya teknologi dan keamanan dari sistem e-voting itu sendiri. Hal ini yang menjadikan tren e-voting sendiri mulai menurun di beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat.

"Tren penggunaan e-voting menurun di banyak negara. Tren itu menurun karena banyak orang terganggu peretasan. Trust menurun di berbagai negara. Di Amerika sendiri tren menurun. Jadi di Amerika sebagian ada yang menggunakan e-voting tapi ada juga yang menggunakan e-counting," paparnya.

Arief menekankan, yang terpenting dari perubahan sistem ini soal kultur. Ia meragukan apakah masyarakat sudah siap beralih ke sistem e-voting.

"Kita akan kehilangan kultur yang selama ini dalam tanda kutip pesta di setiap TPS mereka bisa melihat oh sah, oh tidak sah. Mereka bisa guyub antar warga antar pemilih, mereka menyaksikan penghitungan suara. Nanti kan (kalau e-voting) mereka nggak bisa lihat. Pencet sudah masuk (suaranya) ke pusat," jelasnya.

Ia menambahkan, ada tiga sistem pemilu modern yang ada di dunia. Yakni, e-voting, e-counting dan e-rekap.

"E-rekap ini yang sudah bisa kita gunakan. E-rekap sudah kita kembangkan sejak satu tahun lalu. Begitu Undang-Undang mengatakan dapat menggunakan teknologi informasi itu langsung kita lakukan kajian. Sudah diterapkan dalam Pilkada DKI Jakarta, 2x24 jam kita sudah tahu hasilnya," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya