Angket E-KTP, DPR Diibaratkan Firaun

Ilustrasi paripurna DPR.
Sumber :

VIVA.co.id - Hak angket kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP yang digulirkan sejumlah anggota DPR dianggap sebagai salah satu upaya pelemahan terhadap KPK. Bahkan, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengibaratkan KPK sebagai Musa, sementara DPR adalah Firaun.

Sidang Uji Keabsahan Hak Angket, DPR Tak Hadir

"Saya ibaratkan bak perjuangan Musa melawan Firaun, hanya kepercayaan kepada yang "Maha Kuasa" yang bisa membuat KPK percaya terus bisa dan berani melawan praktik korupsi yang sistematis, terstruktur dan masif tersebut," kata Dahnil dalam siaran persnya, Jumat 28 April 2017.

Dahnil mengibaratkan DPR seperti sosok Firaun, lantaran memiliki kuasa yang besar untuk melawan KPK, dengan berbagai upaya pelemahan.

Soal Tersangka Baru e-KTP, KPK Siapkan 'Kejutan'

"Firaun merasa sangat berkuasa dan bisa melakukan apapun tanpa peduli dengan hukum yang berlaku, dan tidak peduli dengan Yang Maha Berkuasa dan Mengawasi yakni Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT," ujar dia.

Lanjut Dahnil, hak angket hanya sebagai politisasi dan tekanan yang dilakukan anggota DPR yang ikut menandatangani. Sebab, ada anggota maupun fraksi yang menolak menggunakan salah satu hak yang dimiliki Dewan itu.

DPR Versus KPK dan Persoalan Hukum yang Terabaikan

Padahal menurut dia, para penguasa itu berada pada posisi untuk memperjuangkan perlawanan terhadap korupsi. Bukan upaya melemahkan.

"Kondisi KPK saat ini sangat suram, diserang dan dirusak dari dalam dan luar, salah satunya melalui hak angket ini," katanya.

Keanehan yang dirasakan Dahnil, kalau memang DPR mengagendakan perlawanan terhadap korupsi, kenapa tidak membuat hak angket ke Polri terkait kekerasan yang dialami Novel Baswedan. Sebab, sudah lebih dari dua pekan sejak 11 April 2017 saat Novel disiram air keras usai salat Subuh, belum bisa diungkap oleh tim kepolisian.

"Artinya ada sesuatu yang tidak beres dalam penanganan kasus penyerangan terhadap Novel tersebut, tapi kan mereka (DPR) tidak lakukan bahkan cenderung tidak peduli. Maka saatnya, publik bergandeng tangan melawan, menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya