Alasan Demokrat Kirim Tim Khusus di Sidang E-KTP

Suasana sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor
Sumber :
  • Rifki Arsilan/VIVA.co.id

VIVA.co.id - Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, sering terlihat memantau langsung proses sidang kasus proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Rupanya, langkah Hinca tersebut memang atas perintah resmi dari partai.

Bambang Pacul Sebut Pernyataan Agus Rahardjo soal Intervensi Jokowi Kedaluarsa: Motifnya Apa Coba?

Namun, apa alasan Partai Demokrat mengirim Hinca dan tim secara khusus di sidang perkara yang diduga merugikan uang negara hingga Rp2,3 triliun itu?

"Supaya tidak ada yang mendiskreditkan Partai Demokrat," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Roy Suryo, kepada VIVA.co.id, Selasa, 4 April 2017.

Yasonna Dorong Forum Pengembalian Aset Korupsi Century dan e-KTP di Forum AALCO

Roy menuturkan bahwa saat ini sering kali orang-orang yang berhubungan dengan Partai Demokrat disebut-sebut. Namun, dia meminta agar dibedakan, mana anggota resmi dan mana bekas anggota.

"Tolong yang mana yang partai. Misalnya Mirwan Amir, sudah bukan lagi anggota Partai Demokrat," kata Roy lagi.

Setya Novanto Dapat Remisi Idul Fitri, Masa Tahanan Dipotong Sebulan

Oleh karena itu, Roy pun meminta penyebutan-penyebutan yang mengarah ke Partai Demokrat seperti kesaksian mantan Bendahara Umum mereka, Muhammad Nazaruddin, agar dikroscek. "Jangan sampai orang-orang yang sudah bukan lagi di Partai Demokrat tapi tetap dianggap dia sebagai Partai Demokrat," tutur dia.

Sebelumnya, Nazaruddin membeberkan pihak-pihak yang turut menerima uang korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP. Selain personal-personal, Nazar juga menyebut institusi yaitu Partai Demokrat.

Dalam kasus e-KTP, dua orang yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil, Sugiharto, sudah menjadi terdakwa dan menjalani proses hukum di pengadilan. Mereka diduga memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang membuat negara rugi lebih dari Rp2,3 triliun. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya