MA Diminta Batalkan Aturan Ketua DPD Cuma 2,5 Tahun

Ketua DPD terpilih Mohamad Saleh (tengah) mengangkat palu sidang seusai dilantik menjadi Ketua DPD di Gedung Nusantara V Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/agr/Izaak

VIVA.co.id - Mahkamah Agung diingatkan mengenai gugatan terkait tata tertib (tatib) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menyebutkan masa jabatan ketua lembaga itu hanya dua setengah tahun saja. Persoalan ini, sempat menghangat dan menjadi konflik internal DPD tahun lalu dalam paripurna.

Ketua Komisi II DPR Bantah Ada Arahan Jokowi Soal Penghapusan Pilkada

Sejumlah anggota seperti A.M Fatwa mendesak Irman Gusman yang kala itu menjadi ketua, untuk melepaskan jabatannya. Kini, tatib itu digugat ke Mahkamah Agung.

Pakar hukum tata negara Zaenal Arifin Mochtar mengingatkan agar MA tidak berpikiran bahwa norma tersebut merupakan aturan yang dibuat internal sehingga tidak bisa diputus. Ia meminta MA melihat tatib DPD itu lebih luas. Tidak hanya tekstual pada tatib, tapi persoalan hukum yang tidak berlaku surut.

Pengabdian 31 Tahun Hasbi Hasan dan Berprestasi Selama Menjabat jadi Pertimbangan Meringankan Hakim

Jika sikap itu yang diambil MA, dia membayangkan bila nanti ada yang tidak suka Jokowi dan melakukan hal yang sama, mengubah aturan di tengah jalan, maka jabatan presiden bisa juga dua setengah tahun.

"Saya membayangkan banyak yang rusak. Kalau partai-partai berkumpul lalu mengubah UUD menjadi 2,5 tahun, Jokowi turun sekarang," kata Zaenal dalam diskusi bertajuk 'Masa Depan DPD Ada di Tangan Putusan MA?', di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 19 Maret 2017.

Hasbi Hasan Banding Usai Divonis 6 Tahun Penjara

Menurutnya, MA harus melihat lebih luas yakni dengan membatalkan aturan masa jabatan 2,5 tahun tersebut. Sebab, aturan masa jabatan ketua DPD adalah lima tahun.

Dijadwalkan, DPD akan melakukan pemilihan pada 3 April 2017 dengan mengacu pada tatib tersebut. Namun kalau proses ini mendapat legitimasi MA, ia khawatir ke depannya bisa disalahgunakan untuk merebut posisi pimpinan.

"Kita bisa saja, selama tidak suka kita turunkan di tengah jalan melalui proses yang berjalan," katanya.

Kalau nanti DPD tetap mengesahkan tatib, menurutnya itu putusan yang salah. Walau harus dihormati sebagai putusan hukum mengikat.

Namun, lanjut Zaenal, MA juga perlu mempertimbangkan masalah waktu. Bahwa pemilihan ketua DPD pada 3 April 2017, maka selayaknya putusan MA juga sebelum tanggal itu.

Dikhawatirkan, kalau putusan MA keluar setelah 3 April tapi DPD sudah melaksanakan aturan di tatib, maka semakin membuat kisruh DPD.

"Secara timing akan menambah persoalan. Kalau dilakukan itu akan menambah keruwetan internal. Ibarat melempar minyak tanah dibara," katanya.

Hal yang sama dikatakan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi, Lucius Karus. Putusan MA ini, bisa juga menjadi pertimbangan bagi lembaga lain untuk menggunakan cara serupa yakni melalui tatib seperti DPD.

"Jangan memberikan legitimasi untuk sesuatu bagi lembaga manapun ke depannya," kata dia.

Maka putusan MA, lanjut dia, harus benar-benar bisa menyelesaikan persoalan di lembaga yang tengah berkonflik itu. Tidak malah membuat situasi semakin tidak kondusif yang berakibat makin melemahnya DPD.

"Kita punya harapan agar MA bisa memberikan fatwa yang justru tidak mendukung makin kerdilnya DPD ini. Tidak hanya putusan soal itu saja tapi dampak-dampaknya," kata Lucius.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya