Sekjen PPP: Angket E-KTP Tidak Perlu

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyatakan hak angket korupsi kartu tanda penduduk elektronik, atau e-KTP terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu digulirkan.

INFOGRAFIK: Cara Buat KTP Digital

Menurutnya, untuk mengkritisi KPK, cukup dengan rapat kerja Komisi III DPR.

"Hak angket, saya pribadi enggak perlu. Untuk mempertanyakan penyelidikan, penyidikan KPK itu bukan dengan hak angket. Itu bisa satu, paling lazim melalui raker Komisi III dengan KPK. Ya, dikritisi habislah, harus terbuka, ini bukan intervensi ya," kata Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 15 Maret 2017.

Rektor UIN Jakarta Semprot Agus Rahardjo Soal e-KTP: Pak Agus Seharusnya Merespon Saat Itu

Arsul menuturkan, dalam raker itu juga bisa ditanyakan apakah KPK punya cukup bukti dugaan keterlibatan anggota dewan dalam korupsi proyek dengan total nilai anggaran Rp5,9 triliun tersebut.

"Kami akan menanyakan, kok Anda (KPK) menyatakan semua ini, apakah punya dua alat bukti? Standarnya kan, selalu dua alat bukti. Itu kami tanyakan. Kalau dia (KPK) mengatakan, kami punya dua alat bukti, ya akan kami tunggu," kata Arsul.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Ia juga mengatakan, sepakat jika KPK harus dikritisi atas proses penuntasan korupsi yang merugikan negara senilai Rp2,3 triliun. Sebab, KPK menyebut ada puluhan anggota DPR yang diduga ikut menikmati uang haram itu.

"KPK membeberkan, mendetailkan seluruh pihak-pihak yang diduga menerima aliran dana (korupsi e-KTP). Nah, konsekuensinya apa? Terduga penerima aliran dana harus dibuktikan. Kalau tidak dibuktikan, maka jatuhnya pencemaran nama baik. Ini yang saya kira, teman-teman KPK harus dikritisi," ujar Arsul.

Anggota Komisi III DPR itu mencatat, KPK cukup bersemangat saat membeberkan nama-nama yang diduga terlibat dalam suatu kasus korupsi. Hanya saja, setelah itu tidak jelas penuntasannya.

"Contoh kasus Century. Putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan di dalam dakwaan jelas bersama-sama. Tapi sekarang, tidak ada satu pun kasusnya kemudian menyusul. Jangankan dilimpahkan ke pengadilan, status penyelidikan terhadap yang bersama-sama saja tidak jelas," ujar Arsul.

Arsul menilai, tindakan seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Alasannya, bukan merupakan penegakan hukum.

"Tapi penistaan hukum terhadap orang-orang tertentu. Itu yang saya kira, harus kita kritisi. Proses hukum itu, artinya harus menghormati asas praduga tidak bersalah," katanya.

Kasus korupsi e-KTP sudah masuk ke persidangan. Sejauh ini, mereka yang menjadi tersangka dan kemudian terdakwa adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipi Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Sugiharto. Mereka dituduh telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang membuat negara rugi lebih dari Rp2,3 triliun terkait proyek tahun 2011-2013 tersebut. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya