Sistem Pemilu di Indonesia Sebabkan Korupsi

Ilustrasi Bendera sejumlah Parpol berderet di Ocean Corner Tanjung Pinang beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVAnews/Yuliseperi

VIVA.co.id - Direktur Eksekutif Respublica Political Institute Benny Sabdo, mengatakan korupsi e-KTP yang melibatkan banyak elite politik sebenarnya sudah lazim terjadi. Sebab, sistem pemilu di Indonesia membuat korupsi menjadi sebuah keniscayaan.

INFOGRAFIK: Cara Buat KTP Digital

"Sistem pemilu proporsional terbuka berpusat pada kandidat, yang terjadi bukan kompetisi antar parpol melainkan kompetisi antar calon dari partai yang sama di dapil yang sama," kata Benny, Rabu, 15 Maret 2017.

Akibat kompetisi sangat ketat, lanjtnya, terjadilah ketidakpastian akan prospek keterpilihan. Menurutnya, semakin tidak pasti akan keterpilihan maka semakin besar kecenderungan melakukan korupsi untuk melakukan kampanye dengan segala cara, termasuk 'membeli' suara pemilih.

Rektor UIN Jakarta Semprot Agus Rahardjo Soal e-KTP: Pak Agus Seharusnya Merespon Saat Itu

Benny menegaskan, apabila KPK berani membongkar skandal korupsi e-KTP, maka semua elite akan kena. Oleh karena itu, mereka tidak perlu panik karena korupsi adalah fakta yang tak terbantahkan.

"Kasus skandal korupsi Nazarudin, Damayanti dan e-KTP tidak jauh berbeda modus operandinya," ujarnya.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Pengajar Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta itu menambahkan korupsi di negeri ini selalu dilakukan berjemaah. Sudah ada jatah pembagian yang jelas antara legislatif, eksekutif, dan korporasi. Selama ini, KPK hanya berhenti memproses sampai pihak yang tertangkap tangan saja, padahal masih ada aktor lain yang terlibat. "Hal ini senantiasa luput dari penindakan KPK," katanya.

Dia melanjutkan, korupsi politik yang terjadi dalam sistem pemilu seperti ini sangat ganas. Ia memberi contoh, antara lain perburuan politik rente, pencucian uang, dana aspirasi, dan menjual suara dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif oleh pejabat publik hasil pemilu, termasuk klientelisme dan jual-beli suara antara calon/petahana dan pemilih.

"Jadi sistem pemilu proporsional terbuka perlu dievaluasi sebab peserta pemilu menurut UUD 1945 adalah partai politik," katanya.

Meski demikian, kata Benny, keberadaan partai perlu dibenahi secara revolusioner. Misalnya, dalam penentuan calon legislatif dan kepala daerah dilakukan secara demokratis dan akuntabel, bukan ditentukan elite.

Dia melihat kuatnya restu petinggi partai dalam mengusulkan calon legislatif dan kepala daerah menunjukkan ada yang keliru dalam proses demokrasi dalam partai. Proses pengambilan keputusan di dalam partai cenderung didominasi sekelompok elite yang merasa memiliki partai.

"Cara-cara transaksi politik seperti ini jelas menafikan hakikat demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Problematika ini perlu diatur dalam RUU Penyelenggaran Pemilu," kata alumnus program pasca sarjana Fakultas Hukum UI ini.

Kasus korupsi e-KTP sudah masuk ke persidangan. Sejauh ini, mereka yang menjadi tersangka dan kemudian terdakwa adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipi Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Sugiharto. Mereka dituduh telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang membuat negara rugi lebih dari Rp2,3 triliun terkait proyek tahun 2011-2013 tersebut.

Tim Jaksa Penuntut Umum dari KPK memaparkan bahwa keduanya melakukan perbuatannya bersama-sama Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa Kemendagri, Isnu Edhi Wijaya selaku ketua konsorsium PNRI, Diah Anggraini selaku Sekjen Kemendagri, Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar, yang kini menjabat Ketua DPR, dan Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan barang jasa di lingkungan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri tahun 2011.

Pihak-pihak yang diuntungkan dengan perbuatan kedua terdakwa, di antaranya yakni Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan beserta enam orang anggota panitia pengadaan, Husni Fahmi beserta lima orang tim teknis, Johannes Harliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung dan Taufik Effendi.

Selain itu, menurut tim Jaksa, kedua terdakwa juga memperkaya Teguh Juwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Hamonangan Laoly dan 37 anggota komisi II DPR RI lainnya.

Kedua terdakwa juga memperkaya korporasi yakni, PNRI, PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, Sucofindo dan manajemen bersama konsorsium PNRI.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya