AHY, 'Anak Bau Kencur' yang Berpeluang Jadi Elite Bangsa

Agus Harimurti Yudhoyono dan Annisa Pohan dalam konferensi pers di Wisma Proklamasi Jakarta, Rabu malam (15/2/2017).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Meski kalah telak pada Pilkada DKI Jakarta, namun Agus Harimurti Yudhoyono atau yang disingkat AHY, dinilai berpeluang cukup besar menjadi elite politik baru yang cukup berpengaruh bagi masa depan Indonesia.

AHY Ungkap Ternyata Wali Kota Surabaya Teman Sekelasnya Kuliah Doktor

Hal itu diungkapkan Pengamat Politik Unversitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun. Kepada VIVA.co.id, Kamis, 16 Februari 2017, Ubedilah menjelaskan beberapa faktor yang membuat AHY dapat menjadi salah satu tokoh berpotensi di kemudian hari.

"AHY adalah fenomena politik menarik untuk dicermati pada Pilkada 2017. Sejak kesediaannya menjadi cagub DKI, September 2016, yang cukup mengejutkan karena menanggalkan karier cemerlangnya di militer, telah menggetarkan lawan-lawan politiknya," kata Ubedilah.

Pakai Sarung dan Peci, AHY Sowan ke Rais Aam PBNU

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Puspol Indonesia ini mengatakan, hal ini dinilai ketika mayoritas lembaga survei yang melakukan pendataan sebelum September 2016 tidak memunculkan nama AHY. Setelah itu baru muncul meski angkanya jauh di bawah 10 persen. 

Dalam dua bulan sejak pencalonannya, elektabilitas putra sulung Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ini naik drastis hingga tembus angka antara 20 persen sampai 28 persen, sempat mengungguli Ahok dan Anies. Meski kemudian dua pekan menjelang Pilkada mengalami penurunan cukup signifikan. 

Emil Dardak Bicara 'Kuda Hitam' AHY dan Nasib Demokrat pada 2024

"Namun ketika ia mengawali kariernya dalam Pilkada, segera setelah itu langsung ada yang menyematkan label padanya sebagai 'anak ingusan', 'anak bau kencur', 'anak kemarin sore' dan 'penerus dinasti Cikeas'. Serangan politik bertubi-tubi meski tidak langsung menyerang dirinya," kata dia.

Ubedilah mengatakan, hingga Pilkada berlangsung 15 Februari 2017, AHY dan tim bekerja dalam waktu kurang lebih 4 bulan. Menurutnya, waktu yang sangat singkat dibanding Ahok-Djarot sebagai petahana yang sudah bekerja selama lima tahun dan dibanding Anies-Sandi yang sudah bekerja 1 sampai 2 tahun.

"Ini yang harus diperhitungkan oleh lawan-lawannya," ujar Ubedilah.

Penilaian lain yang membuat AHY bisa menjadi salah satu calon kuat dalam ajang pemilihan umum lainnya, kata Ubedilah, adalah ketika hasil quick count yang terjadi kemarin sekitar pukul 15.40 WIB.

"Dari lima lembaga survei yang saya hitung, rata-rata perolehan suara masing-masing, Agus-Sylvi 18,5 persen, Ahok-Djarot 41 persen, Anies-Sandi 40,5 persen. Angka 18,5 persen setara dengan kurang lebih 1 juta pemilih. Angka yang tidak sedikit bagi pendatang baru. AHY kalah versi quick count tersebut. Sejauh yang saya amati faktor terbanyak kekalahannya bukan berasal dari dirinya," katanya.

Selain dari hitung-hitungan angka, sosok AHY yang cukup kesatria mengakui kekalahannya saat mengelar jumpa pers. Itu juga dinilai Ubedilah menunjukkan sikap seorang pemimpin yang mulai matang meski sebagai pendatang baru.

Ubedilah menilai, dalam pernyataan terbukanya itu, ada empat makna yang disampaikan AHY. Pertama, menunjukkan sikap kesatrianya, karena mengakui kekalahan. Kedua, AHY dinilai mengkonstruksi cara pandangnya tentang pengabdian pada negara akan terus berlangsung. 

"Ketiga, ia menunjukkan kematangan politiknya karena setelah kekalahan mau berkomunikasi dengan cagub lainya. Keempat, ia menginspirasi anak muda untuk terus semangat dan berkarya," tutur Ubedilah.  

Pada konteks makna konferensi pers itulah, kata Ubedilah, poin utama kepemimpinan AHY yang makin ditunjukkan. Konferensi persnya tidak didampingi oleh SBY. Itu mengandung pesan bahwa AHY bukanlah pemimpin dalam bayang-bayang orangtuanya. 

"Mungkin dalam soal politik, SBY adalah salah satu guru utama politiknya. Ia mau membangun model kepemimpinannya sendiri meski tidak mudah, karena betapapun AHY tampak begitu dekat dengan kedua orangtuanya. Publik perlu mencermati fenomena politik AHY ini. Untuk melihat secara objektif dan adil pada AHY," ujarnya.

Sebagai akademisi yang peduli dengan perilaku politik elite, Ibedilah menilai AHY berpeluang cukup besar menjadi elite politik baru yang cukup berpengaruh bagi masa depan Indonesia.

"AHY akan mewarnai jagat politik nasional. Dalam konteks ini AHY harus mulai belajar dari kesalahan-kesalahan para pemimpin republik ini, termasuk belajar dari kesalahan orangtuanya," ujar Ubedilah. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya