Presiden Jokowi Minta Fatwa MA soal Aktifnya Ahok

Ahok dipersidangan PN Jakarta Utara.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/POOL/Irwan Rismawan

VIVA.co.id – Ketua Umum Pimpinan Pusat atau PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan Presiden Joko Widodo sudah meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait perbedaan pandangan mengenai pengaktifan kembali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alas Ahok, sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Ahok Sebut Pertamina Bisa Tetap Untung Bila Tak Naikkan Harga BBM 2022

Sebagian menyebut bahwa Basuki alias Ahok yang kini menjadi terdakwa kasus penodaan agama tidak bisa diaktifkan lagi sebagai gubernur atas dasar UU tentang Pemerintah Daerah.

Namun, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyebutkan apabila Ahok tidak ditahan dan tuntutan di bawah lima tahun, serta belum ada tuntutan tunggal, maka Ahok bisa diaktifkan kembali.

Hasto dan Ahok Sampaikan Pesan Megawati untuk Politisi Muda

"Ini kan banyak tafsir. Bahkan Pak Presiden sendiri betul-betul memahami, menyadari banyak tafsir itu. Bahkan Beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi dari MA," kata Haedar bersama pimpinan Muhammadiyah dan Aisiyah usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 13 Februari 2017.

Lanjut Haedar, pandangan resmi MA ini akan dianggap menjadi pandangan resmi, sehingga ada jalan keluar dari dua persepsi soal aktif atau tidak perlu aktifnya Gubernur Ahok.

Ruko Milik Ahok di Medan Terbakar, Tiga Orang Alami Luka Bakar

"Jadi saya pikir itu merupakan langkah yang cukup elegan. Jadi di tengah banyak tafsir tentang aktif, non-aktif ini, maka jalan terbaik adalah meminta fatwa MA," ujarnya.

Untuk itu, jelang dua hari pencoblosan pada tanggal 15 Februari lusa, Haedar berharap MA juga segera mengeluarkan fatwa soal posisi Ahok tersebut.

"Agar kita ini semua ada di dalam kepastian hukum dan tidak terus ribet dan gaduh seperti ini," kata dia. 

Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra, Demokrat, PKS di DPR menggulirkan usulan Panitia Khusus Hak Angket terkait diaktifkannya kembali Ahok yang berstatus terdakwa. Gerindra menduga ada pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1 dan ayat 3.

Usulan hak angket digulirkan karena dinilai ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3. Berikut ini bunyi Pasal tersebut.

1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang penistaan atau penodaan agama. Dakwaan tersebut merupakan dakwaan alternatif ditandai dengan kata 'atau'.

Alternatif pertama yaitu Pasal 156A KUHP dengan kualifikasi penodaan agama saat terdakwa kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Sedangkan, alternatif kedua Pasal 156 KUHP.

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 156

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya