Sikap Polisi Berlebihan soal Kasus Bendera Bertulisan Arab

Bendera merah putih yang dicoret pakai tulisan Arab dalam demo FPI Mabes Polri.
Sumber :
  • Twitter

VIVA.co.id – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai polisi tidak perlu berlebihan dalam menangani kasus tulisan dengan aksara Arab di bendera Merah Putih pada saat demo massa Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu.

Salut! Putri Handayani Jadi Warga Indonesia Pertama yang Berhasil Taklukkan Kutub Selatan

Sebelumnya, Kepolisian telah menetapkan Nurul Fahmi sebagai tersangka serta dilakukan penahanan pada Sabtu, 21 Januari 2017 lalu terhadap oknum tersebut.

Menurut Yusril, penerapan pasal-pasal pidana pada Undang Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, harus lebih dahulu mengedepankan persuasi. Sebab, lanjut Yusril, masih banyak masyarakat hingga pejabat yang tidak terlalu paham apa arti bendera itu.

Top Trending: Firasat Masinis KA Bandung, Bendera Merah Putih Dicorat-coret Hingga Satria Mahathir

Yusril mengatakan, lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya. Bahannya terbuat dari kain yang tidak mudah luntur. Ukurannya untuk keperluan-keperluan tertentu juga sudah diatur oleh undang undang. Oleh karena itu, dalam persoalan bendera, tidak semua bisa dikatakan sebagai bendera seperti dalam UU tersebut.

"Ambil lah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI. Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah merepresentasikan bendera RI. Namun sama sekali bukan bendera RI," kata Yusril dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Selasa, 24 Januari 2017.

Viral Video Pembakaran Bendera Merah Putih di Pontianak

Yusril melanjutkan, pemidanaan juga harus karena ditemukannya unsur kesengajaan dengan tujuan menghina dan merendahkan kehormatan negara.

Pasal 67 huruf c juga disebutkan bahwa mereka yang mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain bisa dikenakan ancaman maksimal satu tahun. Oleh karena itu pidana yang dikenakan adalah pidana ringan dan penegakan hukum harus diberlakukan bijaksana.  

"Apalagi penegakkannya dilakukan tebang pilih terhadap mereka yang tidak disukai dan berseberangan dengan pemerintah. Sementara yang lain, yang melakukan perbuatan yang sama, tidak diambil langkah penegakan hukum apa pun," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu.

Ia mengingatkan, banyak orang yang juga membuat tulisan dan huruf lain pada Merah Putih.

"Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak," katanya.

Yusril mengatakan, tulisan pada bendera merah putih juga ada pada saat umat Islam dari Indonesia menunaikan ibadah haji. Biasanya bendera itu dikibarkan oleh ketua rombongan agar jemaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan.

"Sekarang pun hal itu masih terjadi. Saya pernah memberitahu ketua sebuah rombongan umrah bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang undang undang dan dapat dihukum. Mereka pun terkejut dan mengatakan sama sekali tidak mengetahui hal itu," katanya.

Terhadap tersangka Nurul Fahmi, yang diduga melanggar Pasal 66 jo Pasal 24 subsidaire Pasal 67 UU No 24 Tahun 2009, menurut Yusril, terlalu berlebihan.

Pasal itu dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara.

"Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa bendera Merah Putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah Pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara," katanya. Ancamannya adalah penjara maksimal satu tahun.

Menurut Yusril, polisi sengaja mengenakan Pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi. Padahal hal itu diduga tidak dia lakukan.  

"Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan. Sebab ancaman pidana dalam Pasal 66 itu bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya lima tahun," kata pria yang sempat mendeklarasikan diri akan maju jadi calon gubernur DKI itu. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya