Wacana Super Holding Bagi BUMN Dinilai Kurang Positif

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal
Sumber :

VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal menegaskan bahwa rencana pemerintahan Jokowi-JK membentuk super holding bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui revisi undang-undang merupakan sesuatu yang kurang positif. Hal tersebut disebabkan mekanisme super holding menjadikan BUMN semakin tidak terawasi.

Erick Thohir Rombak Komisaris PLN, Nawal Nely Gantikan Tedi Bharata

“Bayangkan, saat ini saja pengawasannya kurang, jika super holding maka pengawasan semakin jauh lagi,” kata Hekal di Media Center DPR RI, Selasa, 25 Oktober 2016.

Saat ini saja, lanjut Hekal, anak perusahaan BUMN belum dapat dilakukan pengawasan oleh DPR RI yang merupakan perwakilan dari rakyat republik ini. Padahal, anak perusahaan tersebut didirikan menggunakan modal yang bersumber dari BUMN.

Jadi Top 5 Perusahaan TIC di Asia Pasifik, IDSurvey Tetapkan Visi Top 20 Global

“Sampai hari ini tidak ada dalam undang-undang aturan untuk membahas anak perusahaan,” kata Hekal.

Apalagi, sambung Hekal, pembahasan revisi Undang-Undang BUMN tersebut tidak seperti yang diharapkan. Menurut Hekal, Anggota Komisi VI terkesan tidak terlalu bersemangat membahas rancangan perubahannya.

Kementerian Ajak Pegawai BUMN 'Curhat' Demi Jaga Kesehatan Mental

“Revisi Undang-Undang BUMN ini agak alot, fraksi-fraksi selalu beda pendapat. Revisi Undang-Undang BUMN ini agak mundur karena temen-temen kurang semangat,” kata Hekal.

Terlebih lagi, ujarnya, sudah cukup lama sang menteri tidak pernah datang lagi untuk menghadiri rapat dengan DPR RI.

“Menteri BUMN tidak pernah datang ke DPR sudah hampir satu tahun, Kita mau bahas dengan siapa? Meski dihadiri menkeu kita anggap tidak pas,” ujar Hekal.

Sementara itu, Pakar Ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan bahwa jika Undang-Undang BUMN akan direvisi, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah dan DPR RI adalah menerjemahkan kalimat ‘sektor hajat hidup orang banyak’ pada UUD 1945.

“Kalau mau terjemahkan dulu yang dimaksud dengan sektor hajat hidup orang banyak,” kata Noorsy.

Dalam kesempatan itu Noorsy juga mempertanyakan apakah revisi undang-undang tersebut akan menjadikan BUMN sebagai penggerak utama perekonomian masyarakat atau tidak.

“Apakah Indonesia akan menjadikan BUMN sebagai prime mover atau tidak?” tanya Noorsy. (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya