- VIVA.co.id/ANTARA FOTO
VIVA.co.id – Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz menilai, Rancangan Undang-Undang Pemilu yang diserahkan Presiden ke DPR membutuhkan banyak penyempurnaan.
"Ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada," kata Masykurudin kepada VIVA.co.id, Senin, 24 Oktober 2016.
Masykurudin mencontohkan, beberapa permasalahan RUU Pemilu yang diajukan. Di antaranya perihal sistem Pemilu. "Dalam sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan Pemilu Legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik," katanya.
Elemen sistem Pemilu lainnya dalam RUU tersebut menyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi dimana suara Parpol dibagi pembilang 1,4 lalu 3, 5 dan 7 dan seterusnya. Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR.
"Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan berdasarkan nomor urut," ujarnya memaparkan.
Ketentuan ini, seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut.
"Akan tetapi, jika diperhatikan lebih lanjut, sistem ini tak ubahnya proporsional tertutup nomor urut. Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi," ujarnya menjelaskan.
Selain sesungguhnya tertutup, pilihan sistem Pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan yang terjadi selama ini. "Problem mendasar dalam sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang menyebabkan partai politik lemah dan meningkatkan politik transaksional.”
(mus)