- Danar Dono
VIVA.co.id - Sejumlah calon bersedia melakukan kontrak politik dalam Pilkada, tak terkecuali DKI Jakarta. Namun, ada juga calon, atau bakal calon, misalnya Agus Yudhoyono yang lebih memilih tidak memakai kontrak politik.
Sebenarnya, seberapa penting seorang calon membuat kontrak politik dalam suatu kontestasi seperti Pilkada?
"Kembali ke moral politik dan strategi masing-masing orang," kata pengamat politik, Margarito Kamis, kepada VIVA.co.id, Rabu 12 Oktober 2016.
Secara hukum, Margarito menuturkan, tidak ada kewajiban bagi mereka yang membuat kontrak politik. Begitu juga, tidak ada larangan bagi mereka yang tak membuat.
"Sekali lagi, soal perlu tidak perlu, sangat tergantung perhitungan kandidat masing-masing. Bagi yang tidak, mungkin khawatir, suatu ketika bisa menjadi bumerang, misalnya belum terpenuhi," ujarnya.
Namun, Margarito mengakui, kontrak politik tentu memiliki manfaat. Salah satunya menjadi alat untuk mengontrol calon yang kemudian memenangkan pertarungan dan menjadi kepala daerah, gubernur, atau jabatan penting lainnya.
"DPRD bisa menggunakan itu sebagai alat untuk menilai kapasitas kepala daerah itu dalam menjalankan pemerintahan," tuturnya.
Margarito menambahkan, mereka yang sudah membuat kontrak politik, atau janji tapi tak mampu menepatinya menjadi cacat moral. Dengan demikian, DPRD pun bisa memberhentikannya.
"Bisa jadi, dasar mempersoalkan kelanjutan masa jabatannya, karena melakukan perbuatan tercela," tuturnya. (asp)