Ahli Hukum: Tak Etis Jika Setya Novanto Jadi Ketua DPR Lagi

Refly Harun.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Belakangan ini, kembali beredar kabar kemungkinan diangkatnya kembali Setya Novanto menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI menggantikan Ade Komarudin. Hal ini dinilai sah-sah saja secara hukum jika Setya terbukti tak bersalah dalam kasus ‘papa minta saham’ yang menjeratnya beberapa waktu lalu.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

Hal tersebut, diungkapkan Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun usai acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 1 Oktober 2016. 

Dia mengungkapkan, jika Setya tak terbukti secara hukum maka bisa saja menjadi Ketua DPR, apalagi dia saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Namun, bila melihat itu secara kacamata politik dan etik tentu tidak etis jika Setya diangkat kembali menjadi Ketua DPR. 

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

"Secara hukum saya bilang tak ada masalah cuma mungkin dari sisi politik dan etik. Kalau dari etik apakah etis seorang yang mundur, tiba-tiba maju lagi hanya karena ketua DPR itu hak politik dan karena sebagai ketua parpol bisa ajukan penggantian untuk dirinya sendiri, secara etik itu agak kurang etis jadinya," kata Refly.

Menurutnya, secara hukum positif dan politik, fungsi ketua DPR itu saat ini merupakan milik partai Golkar. Karena, lanjut dia, saat ketua DPR mundur dan ada pemilihan maka dalam Undang-undang mengatakan bahwa hal itu merupakan ‘jatah’ Golkar, sama ketika Setya mundur kemudian digantikan Ade Komarudin. 

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

"Karena kita tahu bahwa ketua dan paket pimpinan kan dipilih, bukan ditetapkan. Beda sama Marzuki Ali. Kalau Marzuki kan tidak dipilih, karena Demokrat partai pemenang, dia langsung jadi ketua, kalau ini dipilih," ungkapnya. 

Dengan adanya kemungkinan rehabilitasi dan proses lainnya, ia mengakui Setya bisa menjadi ketua DPR lagi. Namun, ditegaskannya, lagi-lagi hal itu merupakan tindakan yang tidak etis. 

"Dari sisi politik, perhitungannya adalah soal sejauh mana tindakan ini akan merugikan Golkar atau tidak, kalau saya lihat konstelasi terbaru, menurut saya memang dukungan partai lain akan besar, namun justru konflik internal Golkar yang akan meruncing," ujarnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya