Mantan Terpidana Korupsi Boleh Maju di Pilkada 2017

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay
Sumber :
  • Antara/ Dhoni Setiawan

VIVA.co.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 9 tahun 2016, tentang pencalonan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Jumlah Calon Kepala Daerah Minim, Parpol Patut Disalahkan

Dalam PKPU pencalonan itu, salah satunya, yakni pasal 4 ayat (1) huruf (f2) mengatur bahwa, Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan memenuhi persyaratan, bukan sebagai mantan terpidana bandar narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

Artinya, koruptor bisa melenggang bebas maju berpartisipasi dalam pesta demokrasi itu. Sebab, dalam PKPU pencalonan mantan terpidana kasus korupsi tidak diatur, dan tidak dilarang maju di pilkada.

Lembaga Survei Politik Harus Diaudit Sumber Pendanaannya

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay beralasan, bahwa aturan yang dianut KPU adalah sesuai sebagaimana Undang Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

"Jadi begini, itu kan pesan undang-undang juga. Silakan dicek di-UU, itu bunyinya hanya kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba," ujar Hadar di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol 29, Jakarta Pusat, Jumat, 16 September 2016.

Pilkada, Ini Tiga Provinsi yang Bakal Banjir 'Perang Sosmed'

Hadar menegaskan, di dalam UU tersebut hanya diatur larangan maju pilkada bagi mantan terpidana bandar narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Sedangkan mantan terpidana korupsi tidak termasuk dilarang maju pilkada.

"Ada pasal penjelasan dikatakan itu intinya tidak boleh. Jadi kalau dia terpidana berapapun hukumannya, kalau itu terkait kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba itu yang tidak boleh, korupsi tidak ada di UU," kata dia.

Hadar mengklaim, ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ini Komisi II, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), perkara mantan narapidana korupsi tidak boleh maju Pilkada sudah dibahas. Hanya saja, usulan itu tidak masuk dalam hasil RDP.

"Waktu diskusi, ya itu juga (diusulkan). Tapi mereka (DPR) tidak mengambil kesimpulan memasukkan yang lain waktu RDP, termasuk korupsi," kata Hadar.

Padahal, kata Hadar, sangat penting memasukkan larangan bagi koruptor untuk maju mencalonkan diri dalam Pilkada. Sebab, korupsi masuk dalam kategori extraordinary crime.

"Diskusi ada, tapi mereka (DPR) tidak simpulkan di keputusan (RDP). Kami bilang, ‘ini kenapa tidak korupsi, kan penting, kejahatan extraordinary?’," tegas Hadar.

Diketahui, dalam aturan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf (g) Undang-Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Yang dimaksud dengan "mantan terpidana" adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya