Perludem Usul 2019 Tanpa Ambang Presidensial

Contoh surat suara Pilpres 2014
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id – Pemerintah usul menggunakan hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai acuan presidential threshold, atau ambang  bagi partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 nanti. Usul ini disampaikan karena pada 2019 nanti, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan digelar berbarengan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

MK Tolak Gugatan PT 20 Persen Yusril dan La Nyalla

Konsekuensi dari usulan ini adalah partai baru tidak bisa mengajukan atau mendukung pasangan calon pada 2019 mendatang. Menanggapi ini, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhani, menganggap usulan pemerintah ini sebagai diskriminasi.

"Ya kalau konsisten dengan prinsip dan semangat pemilu serentak, mestinya semua partai politik peserta Pemilu 2019 bisa menjadi calon presiden," katanya kepada VIVA.co.id, Jumat, 16 September 2016.

PPP-Golkar Tolak Presidensial Threshold Nol Persen, PAN Setuju

Fadli menambahkan dengan kebijakan ini pemerintah mengesampingkan asas keadilan dan tidak konsisten dengan semangat demokrasi dalam pemilu. "Ini tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu serentak," tegasnya.

Fadli mengingatkan tatanan politik pada Pemilu 2014 tidak bisa dijadikan cerminan untuk Pemilu 2019 mendatang. "Tidak akan sesuai, karena segmentasi pemilunya sudah berbeda, antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019," paparnya.

Usulkan PT 0 Persen, Demokrat Bantah Dorong AHY di Pilpres 2024

Selain itu, adanya ambang batas juga dia nilai bertentangan dengan semangat pada putusan Mahkamah Konstitusi. Fadli melihat usulan itu dilatari kepentingan politik dari partai.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang dimohonkan judicial review oleh pakar komunikasi Effendy Gazali, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi menyebut pada penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 yang dilakukan setelah Pemilu Legislatif, ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, calon presiden terpaksa melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik terlebih dahulu dengan partai politik. Hal ini sangat mempengaruhi roda pemerintahan di kemudian hari.

Sebab, fakta tawar-menawar politik dalam Pemilu Presiden lebih banyak bersifat taktis dan sesaat. Presiden sangat tergantung pada partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, menurut sistem pemerintahan presidensial.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya