Praktisi Hukum Nilai Revisi KUHP Produk Salah Kaprah

Gedung DPR.
Sumber :

VIVA.co.id – Sejumlah praktisi hukum yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) menilai rancangan KUHP yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah adalah hasil rumusan pemikiran yang salah kaprah.

RKUHP Sah: Mimpi Buruk serta Ancaman Demokrasi di Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menyatakan, dalam Rancangan KUHP terdapat beberapa pasal yang memiliki makna ambigu atau tidak jelas penafsirannya nantinya. Pasal-pasal tersebut dinilai sangat membahayakan prinsip demokrasi di Indonesia.

Dalam Pasal 219 dan 220 Rancangan KUHP pada Bab I, lanjutnya, dimuat tentang pelarangan menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Bahkan dalam rancangan KUHP menyatakan bahwa barang siapa yang menyebarkan atau mengajarkan paham itu dapat dipidana penjara minimal 7 tahun dan maksimal 10 tahun.

Wamenkumham Klaim Revisi KUHP untuk Atasi Over Kapasitas Lapas

"Ini kan samar-samar jadinya, menyebarkan yang bagaimana yang dilarang. Ajaran Komunisme yang mana yang seperti apa yang melawan hukum. Ini kan tidak jelas juga," kata Supriyadi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin 22 Agustus 2016.

Sementara itu, Akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Mahmud Syaltout menyatakan, ketidakjelasan penafsiran dalam Pasal 219 dan 220 yang mengatur larangan menyebarluaskan atau mengajarkan paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme itu sama halnya dengan rencana pemerintah untuk memidanakan pemikiran seseorang.

Soal RKHUP, Mahfud MD: Tak Mungkin Tunggu Kesepakatan 270 Juta Warga

"Ini kan aneh. Yang mau dipidanakan itu siapa, apanya, masak ya mau memidanakan hantu," Kata Mahmud.

Sementara mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menegaskan bahayanya ketentuan pidana dalam Pasal 219 dan 220 Rancangan KUHP tersebut. Menurutnya, ketentuan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Menurutnya, pemikiran seseorang tidak dapat dipidanakan.

"Sebetulnya alam pikiran itu tidak bisa menjadi wilayah hukum pidana. Kami memandang hal ini sangat berbahaya dan meminta kepada DPR agar berhati-hati dalam mengambil keputusan karena ini akan menimbulkan masalah baru," tutupnya

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya