DPR Nilai Pemerintah Belum Mampu Kurangi Kesenjangan Ekonomi

Suasana rapat Komisi XI DPR.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ismar Patrizki

VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Muharam menilai dua tahun pemerintahan Jokowi-JK masih belum mampu mengurangi kesenjangan ekonomi.

Anak Muda Pegiat Koperasi Tulis Buku Pemikiran Kerakyatan Prabowo melalui UMKM

Menurutnya, persoalan ekonomi yang sangat berat, yaitu kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Data yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan adanya tren penurunan kesenjangan pengeluaran. Tetapi ini masih jauh dari kondisi yang ideal dan memuaskan.

"Kondisi kesenjangan pendapatan dan penguasaan kekayaan jauh lebih buruk,” kata Ecky saat dihubungi, Senin 22 Agustus 2016.

Holding Ultra Mikro BRI Group, Keberpihakan BUMN Pada Ekonomi Kerakyatan

Diketahui, BPS baru saja merilis laporan terjadinya penurunan Gini Ratio. Dimana, hingga Maret 2016, Gini Ratio sedikit mengalami penurunan menjadi 0,397 dibanding September 2015 yang berada di level 0,402 dan Maret 2015 sebesar 0,408.

"Meski perkembangannya membaik, target Gini Ratio dalam APBNP 2016 sebesar 0,39 dan dalam RAPBN 2017 sebesar 0,38 belum meyakinkan dapat dicapai. Dibutuhkan kebijakan akselerasi untuk dapat mencapainya," katanya.

Makin Berkembang & Pro Rakyat, Holding Ultra Mikro BRI Berhasil Menaikkelaskan 1,2 Juta Nasabah

Diingatkan Ecky, laporan Bank Dunia telah memberikan peringatan atas potensi terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan dari ketimpangan yang semakin lebar tersebut.

Bank Dunia mengungkapkan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, telah terjadi dimana 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional.

Diperkirakan pula sekitar 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Sehingga, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan yang tak lebih dari 25 persen.

"Saat ini faktanya telah terjadi efek konsentrasi ke atas atau trickle-up effect dalam proses pembangunan selama ini. Pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar tidak dinikmati mayoritas rakyat," ujarnya.

Politisi PKS ini menilai, berbagai kebijakan dan program untuk mendorong perbaikan ekonomi yang berorientasi pada rakyat kecil juga belum terlaksana dengan baik.  Beberapa indikatornya adalah, pertama, masih tingginya inflasi di pedesaan, terutama pada bahan makanan. Kedua, nilai tukar petani belum membaik secara signifikan.

Ketiga, masih minimnya realisasi kredit UMKM, hanya 18 persen dari total kredit perbankan. Dan keempat, implementasi paket kebijakan pemerintah belum menyentuh golongan menengah ke bawah.

"Rakyat miskin semakin miskin karena 65 persen penghasilan mereka habis untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Dan rakyat yang mendekati miskin jatuh dalam kubangan kemiskinan," katanya.

Kondisi ini menandakan masih beratnya penderitaan yang dihadapi setiap hari oleh jutaan rakyat dan menjadi tanggungjawab besar bagi kita sebagai sebuah bangsa, katanya.

Secara khusus Bank Dunia (2015) mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur.

Bahkan, dalam hal distribusi aset, lebih memprihatinkan, yaitu Rasio Gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka ini jauh lebih tinggi daripada Rasio Gini pendapatan. Badan Pertanahan Nasional bahkan mencatat, 56 persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk.

Kesenjangan yang semakin besar akan menimbulkan kecemburuan, meningkatkan ketidakpercayaan baik secara vertikal maupun horizontal dan berpotensi menimbulkan ledakan sosial. Rakyat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa, ujarnya.

"Ketimpangan ekonomi yang kronis akan menjadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi. Ini harus menjadi warning serius bagi kita semua," katanya.  (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya