Gugat Aturan Cuti, Ahok Dinilai Berlebihan

Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai gugatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terhadap aturan kewajiban cuti bagi petahana saat kampanye berlebihan. Menurut Masykurudin, Ahok seharusnya tak perlu mengajukan gugatan.

PYCH Binaan BIN Buat Kegiatan Rutin di Papua: Pengembangan Wisata hingga Usaha

"Sesungguhnya undang-undang itu berlaku umum bagi semua kepala daerah. Kenapa perlu cuti agar potensi dia sebagai petahana tidak dipakai," kata Masykurudin saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 5 Agustus 2016.

Ia melanjutkan kewajiban cuti saat kampanye ditujukan agar antar pasangan calon memiliki posisi yang sama atau kesetaraan. Sehingga tak ada fasilitas atau biaya negara yang bisa dimanfaatkan petahana untuk kepentingannya.

"Karena itu Ahok tak bisa memandang hanya kepentingannya. Karena itu untuk semua kepentingan kepala daerah yang dalam pengalaman kalau ada petahana calonkan diri, berpotensi menyalahgunakan fasilitas dan kewenangannya tinggi," kata Masykurudin.

Menurutnya, Ahok harus tetap mengikuti undang-undang sambil membuktikan pada masyarakat transparansi laporan kampanyenya. Transparansi laporan dana Ahok dianggap juga bisa menjadi alat bagi masyarakat untuk Ahok.

Sebelumnya diberitakan, Ahok akan mengajukan pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 yang mengatur kampanye yang dilakukan dalam rangkaian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pasal yang akan diusulkan untuk diuji adalah Pasal 61. Pasal itu mengatur kampanye yang dilakukan pejabat negara petahana sepertinya.

Ajak Warga Sumut Sukseskan PON 2024, Usung Tagline 'Apa yang Kau Bisa Mainkan'
Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebut MK Bisa Anulir Hasil Pilpres 2024, Guru Besar IPDN Beberkan Alasannya

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan menyebutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menganulir hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024