DPR Minta Pemerintah Larang Dokter Rekomendasikan Merek Obat

Ketua Komisi IX Dede Yusuf
Sumber :

VIVA.co.id – Komisi IX DPR RI selaku mitra kerja Kementerian Kesehatan, meminta pemerintah membuat aturan baru, mengenai larangan dokter di fasilitas kesehatan untuk mencantumkan merek obat pada pasien mereka. Hal ini diperlukan untuk memberikan kebebasan seorang pasien dalam memilih produk yang mereka kehendaki.

Istri Wali Kota Bogor Ajak Masyarakat Dukung Produk Lokal

"Mungkin ke depan kita akan membuat aturan bahwa dokter tidak boleh menyebutkan nama produk, dia hanya menyebut jenis zatnya. Supaya pasien sendiri yang datang ke apoteker, nah ini ada produk A, B, dan C, sesuai kemampuan dia (pasien), dan sesuai kebutuhan dia," kata Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 21 Juli 2016.

Menurut Dede, khasiat suatu obat seringkali sama walaupun berasal dari produsen atau merek berbeda. Maka dengan mencantumkan merek tertentu dalam resep obat, dokter berpotensi mempromosikan suatu produk.

Penyakit Menular Arbovirosis Jadi Ancaman Baru, Menkes Budi: Lakukan 5 Hal Ini untuk Menanganinya

"Dokter tersebut mengatakan bahwa yang itu obat yang bagus, padahal isi kandungan obatnya sama dengan obat yang lainnya," ujar dia.

Padahal, pemerintah sudah menyediakan berbagai obat untuk rumah sakit, dan bisa dilihat ketersediaannya dalam katalog elektronik yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dede pun meminta agar dokter tidak mengarahkan pasien menggunakan produk tertentu dengan membuat alasan stok obat telah habis.

WHO: Imunisasi Global Menyelamatkan 154 Juta Jiwa Selama 50 Tahun Terakhir

"Dokter tidak boleh mengatakan produknya kosong, karena produk pemerintah ada," kata Dede.

Wacana ini diusulkan Dede Yusuf untuk mengantisipasi kembali terjadinya kasus vaksin palsu yang belakangan menyeruak. Dalam kasus vaksin palsu, Polri telah menetapkan beberapa tenaga medik seperti dokter, bidan dan suster menjadi tersangka. Mereka diduga menawarkan produk vaksin dengan merek tertentu pada orangtua, untuk diberikan ke anaknya.

Sejauh ini, sudah ada 23 tersangka yang ditetapkan dalam kasus peredaran vaksin palsu. Selain staf medik, para tersangka terdiri dari pembuat, distributor, sampai penjual. Jumlah itu masih mungkin bertambah karena Polri masih terus melakukan pengembangan kasus. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya