Sumber :
- ANTARA FOTO/ Sigid Kurniawan.
VIVA.co.id –
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mempertanyakan efektivitas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan mengundang ahli tata bahasa dalam menafsirkan kata "dapat" dalam Bab IV Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2015. Menurut Fadli, MKD lebih bijak jika mengundang seorang ahli hukum.
"Ya, ahli tata bahasa punya kemampuan apa, masak ahli tata bahasa disuruh menafsirkan undang-undang. Jadi seharusnya yang menafsirkan itu adalah orang yang ahli hukum," ujar Fadli di Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 30 November 2015.
"Ya, ahli tata bahasa punya kemampuan apa, masak ahli tata bahasa disuruh menafsirkan undang-undang. Jadi seharusnya yang menafsirkan itu adalah orang yang ahli hukum," ujar Fadli di Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 30 November 2015.
Baca Juga :
Apa Kabar Divestasi Saham Freeport?
Apalagi, menurut politikus Partai Gerindra itu, ahli tata bahasa yang diundang MKD kurang dikenal publik dan dipertanyakan kompetensinya. Dia memandang, jika yang dipanggil misalnya Jus Badudu (Jusuf Sjarif Badudu, pakar bahasa, Guru Besar Linguistika Universitas Padjadjaran), baru boleh.
"Masa ini dari sekolah tinggi yang kita tidak kenal, kompetensi, kapasitas, kapabilitasnya," ungkap Fadli.
Sebelumnya, MKD mengundang ahli Sosiolinguistik dari Sekolah Tinggi Intelijen yakni Yayah Bachria Mugnisyah. MKD mendatangkannya pada Selasa (24/11) lalu untuk menafsirkan kata "dapat" dalam Bab IV Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2015.
Fadli menduga adanya benturan kepentingan dalam mendatangkan Ahli Tata Bahasa dari Sekolah Intelijen.
"Ahli tata bahasanya juga dari BIN, dari sekolah tinggi BIN maksudnya. Ya itu kan ada
conflict of interest
dong, bisa saja itu anak buahnya Maroef, bisa saja," tuturnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Apalagi, menurut politikus Partai Gerindra itu, ahli tata bahasa yang diundang MKD kurang dikenal publik dan dipertanyakan kompetensinya. Dia memandang, jika yang dipanggil misalnya Jus Badudu (Jusuf Sjarif Badudu, pakar bahasa, Guru Besar Linguistika Universitas Padjadjaran), baru boleh.