- ANTARA/Dhoni Setiawan
VIVA.co.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menilai masuknya pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan tanda mundurnya proses demokrasi di Indonesia. Pasal ini sebelumnya sudah dibatalkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi.
"Kalau apa yang dibatalkan dan dihidupkan lagi ya memang mundur," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 4 Agustus 2015.
Fahri juga mengaku kebingungan mengapa wacana tersebut kembali muncul. Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak memasukkan pasal itu lagi ke dalam draf revisi KUHP.
"Saya nggak tahu bagaimana pemerintah bisa mengajukan draf yang tidak dikalibrasi (diverifikasi) dengan yang diputuskan MK," ujarnya.
Politisi PKS itu menjelaskan, bila pasal ini kembali dipaksakan berarti putusan MK harus dibatalkan.
"Kita akan mempertanyakan ketelitian mereka untuk memeriksa pasal-pasal mana yang belum dicantumkan," katanya.
Selain itu menurutnya, kritik terhadap presiden, pejabat negara dan DPR adalah sama. Kritik itu untuk membuat kepala negara, pejabat dan DPR menjadi lebih baik.
"Serangan, kritik, terhadap pejabat negara harus kita biarkan, agar pejabat negara tambah baik dan intropeksi diri. Kritik itu konsekuensi sebagai pejabat negara," tuturnya.
Fahri menambahkan bahwa presiden bukan lambang negara yang dibandingkan dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila dan lagu Indonesia Raya.
"Presiden itu silih berganti. Kita datang pergi. Nah, apakah presiden itu lambang negara? Jadi kembali lagi aja pada putusan MK," katanya.