- Antara/ Muhammad Arif Pribadi
VIVA.co.id - Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian pasal 7 huruf g dan 45 ayat (2) huruf k, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada. Artinya, bagi mantan terpidana yang telah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana di atas 5 tahun, tetap diizinkan mengikuti pilkada.
Dalam pasal 7 undang-undang tersebut, diatur bahwa warga negara Indonesia dapat menjadi calon kepala daerah apabila tidak penah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dalam pertimbangannya, Hakim Patrialis Akbar menyebut pasal tersebut adalah bentuk pengurangan hak atas kehormatan warga negara. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada secara tidak langsung telah mencabut hak memilih dan dipilih seseorang. Padahal, pencabutan hak pilih seseorang hanya bisa dilakukan hakim di pengadilan.
"Pasal 7 huruf g bertentangan dengan UUD 1945," kata Patrialis di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 9 Juli 2015.
Sebelumnya, MK juga pernah memutus aturan sejenis dengan permohonan a quo yaitu putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003. MK secara garis besar menyatakan bahwa pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih tersebut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap serta bersifat individual dan tidak kolektif.
Selain itu, putusan nomor 4/PUU-VII/2009 pun memberikan batasan terhadap syarat yang tercantum dalam pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k UU a quo.