'UU MK Perlu Direvisi Demi Hindari Copy-Paste Putusan'

Pengamanan Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVA.co.id
Komisi VII Dukung Upaya Pemerintah Perkuat Pertamina
- Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Pimpinan DPR Nilai Sudah Cukup Bukti Jadikan Ahok Tersangka

Usulan revisi itu terutama untuk pasal yang mengatur batas waktu wewenang bagi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada. Waktu yang diamanatkan Undang-Undang adalah paling lama 45 hari kerja. Namun MK meminta klausul itu diubah dan ditambah menjadi 60 hari kerja.
PDIP Masih Cari Momentum Baik untuk Umumkan Cagub DKI


Dasar asumsi MK meminta undang-undang itu direvisi adalah potensi tinggi sengketa atau perselisihan dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Soalnya ada 269 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada dan potensi perselisihan jauh lebih banyak dari itu. Waktu 45 hari kerja dirasa tak cukup bagi MK untuk menyelesaikan sengketa.


Usulan itu menuai pendapat pro dan kontra. Salah satu yang setuju undang-undang itu direvisi adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI. Menurut Juru Bicara Fraksi DPR, Asrul Sani, usulan revisi itu masuk akal agar MK memiliki cukup waktu untuk memutus sengketa.


Asrul berpendapat, waktu maksimum 45 hari kerja terlalu pendek bagi MK untuk mengadili jika banyak sengketa pilkada. Ada 269 kota/kabupaten yang menyelenggarakan pilkada bersamaan pada 9 Desember 2015 dan semua diasumsikan berpotensi terjadi perselisihan.


Dia mencontohkan pengalaman sengketa dalam Pemilu Legislatif pada 2014. Banyak gugatan diajukan calon legislator (caleg) kepada MK. Mahkamah memiliki waktu maksimum 45 hari kerja untuk memutus perselisihan. Akibatnya ditemukan banyak naskah putusan yang tampak asal menyalin atau copy-paste dari putusan lain.


"Kalau kita lihat putusan MK saat Pileg (Pemilu Legislatif 2014) yang hanya (diberi waktu untuk memutus maksimum) 45 hari, banyak putusan yang
copas
(akronim dari
copy-paste
). Itu karena pembuat undang-undang tidak memperhatikan hal ini," kata Asrul kepada wartawan di kompleks Parlemen di Jakarta pada Selasa, 7 Juli 2015.


PPP, katanya, menyimpulkan untuk memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada hakim konstitusi untuk mengadili sengketa pilkada. "Kita setuju sajalah. Lebih bagus 60 hari kerja sejak berkas diterima di kepaniteraan," ujarnya.


Pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR RI, Jhonny G Plate. Dia menolak usulan revisi Undang-Undang MK. Dia beralasan bahwa sejauh ini belum diketahui tingkat potensi sengketa pilkada. Waktu 45 hari kerja itu masih ideal untuk kondisi normal.


Lagi pula, Jhonny menambahkan, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, sengketa yang dapat ditangani MK telah dibatasi. Batas sengketa hanya persoalan selisih perhitungan suara.


"Kalau sengketa pilkada yang diajukan hanya empat atau lima, tidak perlu waktu lama MK menyelesaikannya. Tapi kalau, misalnya, 269 pilkada itu bermasalah, lalu diajukan semua, maka waktu 60 hari juga tidak akan cukup," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya