Komisi VII DPR Janji Revisi UU Migas

Kegiatan industri migas/Foto ilustrasi.
Sumber :
  • ANTV/Veros Afif
VIVA.co.id
Komisi VII Dukung Upaya Pemerintah Perkuat Pertamina
- Panja Migas Komisi VII DPR RI janji akan merevisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang masih membolehkan Pertamina mengimpor BBM melalui pihak ketiga, trader atau mafia.  Revisi dilakukan agar Pertamina bisa mengimpor langsung dari produsen. Karena itu meski Petral dibubarkan dan diganti dengan Integrated Supply Chain (ISC), kalau impor BBM tetap melalui pihak ketiga, maka pembubaran Petral itu tidak akan berpengaruh terhadap harga BBM yang terus naik.

Pimpinan DPR Nilai Sudah Cukup Bukti Jadikan Ahok Tersangka

“Jadi, tidak benar kalau DPR RI membiarkan kebijakan pemerintah yang menyerahkan harga BBM ke pasar dunia. Bahwa Komisi VII DPR sudah mengingatkan agar tidak membuat kebijakan pro pasar karena melanggar konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan menyerahkan harga ke mekanisme pasar dunia itu, tapi pemerintah tetap saja berjalan,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Mulyadi (F-PD) dalam dialektika demokrasi “Pembubaran Petral” bersama anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi (F-Nasdem) di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis 21 Mei 2015.
Cita Citata Cabut Laporan terhadap Anggota DPR


Bahayanya kata Mulyadi, harga premium sekarang ini tidak disubsidi lagi oleh pemerintah, tapi ketika harga BBM dunia naik, pemerintah meminjam uang dari Pertamina. Karena itu persoalan BBM itu kini makin kompleks dan rumit. Apalagi sistem cost recovery meski Indonesia mendapatkan 80 persen, tapi setelah dikurangi biaya produksi, perawatan, dan lain-lainnya keuntungannya ternyata kurang dari 30 persen. “Untuk itulah perlunya revisi UU Migas ini,” ujarnya.


Kenapa tetap impor melalui pihak ketiga? Menurut Mulyadi, bagaimana pun yang namanya anak perusahaan itu tetap mencari untung termasuk Petral sebagai anak perusahaan Pertamina. Padahal kalau bisa impor langsung atau national oil company (NOC) biayanya akan lebih murah dibanding melalui trader. “Jadi, kalau pembubaran Petral tapi tetap impor melalui trader, maka pembubaran itu hanya sebagai pencitraan. Petral bubar, namun muncul ISC, itu sama saja ganti cassing atau tikusnya hanya pindah ke rumah yang baru,” katanya.


Sebelumnya kata Mulyadi, Menteri ESDM Sudirman Said sendiri menolak membubarkan Petral ketika Komisi VII DPR mengusulkan, karena akan dikembangkan untuk kerjasama dengan Petronas Malaysia, tapi sekarang tiba-tiba dibubarkan, ada apa? “Sama halnya dengan kontrak Migas dengan Sonangol, Nigeria, yang semula antara pemerintah dengan pemerintah, kini malah bisnis to bisnis (b to b). Lalu mana penghematan Rp72 triliun yang dijanjikan?” tanya Mulyadi.


Menurut Kurtubi, dengan membubarkan Petral maka proses impor Migas akan makin efektif dan mampu menghemat 22 juta dollar AS, meski ISC sebagai pihak ketiga yang mengimpor karena UU Migas masih memerintahkan demikian. “Pertamina memang bisa impor langsung dari produsen tapi itu butuh waktu lama dan UU Migas mesti direvisi terlebih dahulu. Memahami harga dan Migas itu cukup melihat di kilang itu sendiri, semua data tentang Migas lengkap, dan yang penting tidak melalui pihak ketiga,” tutur politisi asal NTB ini.


Kenapa harga BBM terus naik, hal itu kata Kurtubi, karena hampir 100 persen Migas kita semua impor, bahkan kita selama-lamanya akan menjadi importir, kalau tidak merevisi UU Migas tersebut. Padahal Indonesia bisa menjadi produsen Migas dengan sumber migas yang ada (resourch) memiliki kandungan Migas sekitar 80 miliar barel baik di laut maupun di darat dengan 120 cekungan. “Itu akan menjadi cadangan Migas yang baik kalau dieksplorasi,” katanya.


Kalau di Arab Saudi lanjut Kurtubi, persediaan Migasnya mencapai ribuan miliar barel, sehingga biaya produksinya hanya 5 dollar AS/barel dan Indonesia 20 dollar AS/barel. Sehingga harganya jauh lebih mahal. Apakah pemerintah melanggar UU? “Pemerintah hanya menentukan harga di SPBU, karena Migas 100 persen impor sesuai harga acuan pasar dunia atau Mean of Platts Singapore (MOPS) Singapura, maka harganya terus naik,” ungkapnya.


Karena itu ke depan kalau mau adil, fair, dia mengusulkan sebanyak 60 persen harga sesuai MOPS, tapi 40 persennya disesuaikan dengan biaya pokok produksi dalam negeri. ‘Kalau seluruhnya diserahkan ke pasar, maka harga BBM itu setiap hari akan berubah. Di mana kalau harga dunia naik maka pemerintah akan defisit, dan sebaliknya kalau turun akan beruntung,” tambahnya.


Sedangkan mengenai mafia Migas, hal itu bisa dibuktikan dengan investigasi, misalnya bisa membuka dokumen impor dan Pertamina membayar ke siapa di situ bisa diketahui. “Kalau masalah Sonangol Afrika memang diawali oleh pemerintah atau g to g, agar ada kontrak suplai impor dalam jangka panjang,” katanya.  (www.dpr.go.id)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya