- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
Kepopuleran seorang tokoh atau figur, umumnya tak selalu berkorelasi dengan kepiawaiannya dalam membangun daerah yang menjadi basis suaranya.
"Banyaknya tokoh-tokoh terkenal yang mencalonkan jadi pemimpin daerah. Justru hasilnya dia tidak dapat membenahi daerahnya. Karena mereka lebih memilih di pusat. Kantornya saja banyak di mal.
Hal ini juga yang akan menimbulkan semakin banyak korupsi," ujar Nico dalam Diskusi Nasional mengenai Persiapan Pilkada Serentak di Indonesia pada Desember 2015 di Bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 28 Maret 2015.
Ia tak menampik, bila kondisi saat ini publik memang relatif memilih calon yang paling populer. Itu cukup beralasan, sebab mayoritas publik tak pernah melihat prestasi dan latar belakang dari figur yang hendak didukungnya.
Sebab itu, ia menekankan idealnya publik dan pemilih kedepan lebih mengutamakan elektabilitas ketimbang popularitas . "Elektabilitas yang seharusnya mempengaruhi popularitas. Itu baru calon pemimpin yang ideal," ujar dia. (ren)
[/vivamore]
(ren)