Sumber :
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id
- Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Presiden Joko Widodo, untuk meminta klarifikasi pemerintah Selandia Baru terkait dugaan penyadapan oleh negara tersebut terhadap pejabat Indonesia.
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengatakan, sudah selayaknya Presiden melakukan kritik terhadap sikap Selandia Baru itu.
Baca Juga :
Thailand Siap Awasi Turis Asing via Ponsel
Baca Juga :
Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengatakan, sudah selayaknya Presiden melakukan kritik terhadap sikap Selandia Baru itu.
"Kita harus mengkritik penyadapan ini. Itu langkah yang sebetulnya tidak boleh dilakukan negara yang bersahabat. Kita sangat sesali kalau benar," kata Fadli saat dihubungi, Senin 9 Maret 2015.
Dikatakan Fadli, pemerintahan Joko Widodo tidak boleh diam saja. Sikap keras pemerintah Indonesia, kata Fadli, layak dilayangkan dengan aksi penyadapan ini.
"Pemerintah seharusnya memprotes keras jika ada penyadapan. Karena pelanggaran terhadap kedaulatan kita," ujarnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menilai, sikap pemerintah dengan meminta penjelasan pemerintah Selandia Baru, perlu segera diambil.
Setelah itu, baru pemerintah bisa bersikap terhadap aksi spionase ini.
"Sekarang pemerintah minta klarifikasi saja dulu. Nanti selanjutnya apakah protes, protes keras, silahkan," katanya.
Informasi penyadapan pertama kali diungkap oleh media Selandia Baru, New Zealand Herald dan Radio Selandia Baru. Di situ mereka menulis, kedua badan intelijen, GCSB (Badan Intelijen Selandia Baru) dan ASD (Badan Intelijen Australia), melakukan penyadapan melalui perusahaan telekomunikasi.
Kedua badan itu menyadap komunikasi pejabat tinggi beberapa negara di Kepulauan Pasifik termasuk Indonesia. Mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward J Snowden, yang membocorkan kabar ini. (ren)
![vivamore="
Baca Juga
:"]
[/vivamore]
VIVA.co.id
-
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Kita harus mengkritik penyadapan ini. Itu langkah yang sebetulnya tidak boleh dilakukan negara yang bersahabat. Kita sangat sesali kalau benar," kata Fadli saat dihubungi, Senin 9 Maret 2015.