Ruhut Ditolak Komisi III, DPR Kena Batu Sistemnya Sendiri

Pelantikan Ruhut Sitompul Ditunda
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews – Ruhut Sitompul gagal dilantik. Hari-hari ini, seharusnya dia sudah duduk menjadi Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Sebuah komisi yang sangat penting, sebab menjadi sparring partner sejumlah lembaga penegak hukum. Daya dorong komisi ini terhadap lembaga-lembaga itu sangat diperlukan, terutama demi memberantas korupsi yang sudah menjadi wabah mengerikan di negeri ini.

Presiden FIFA Bangga dengan Pencapaian Timnas Indonesia: Bergerak ke Arah yang Benar

Tapi justru karena posisi yang strategis itulah sejumlah anggota Komisi III dari berbagai fraksi menolak Ruhut Sitompul menjadi pemimpin di situ. Selain urusan kapasitas yang disebut kurang cemerlang, mereka menilai bahasa komunikasi Ruhut di depan publik sangat kacau-balau.

Fraksi Demokrat bereaksi keras atas penolakan itu. Rabu 25 September 2013, ketua fraksi itu, Nurhayati Ali Assegaf, mengecam keras jalannya sidang penetapan Ruhut Selasa kemarin. Nurhayati mengatakan seharusnya pimpinan DPR langsung saja menetapkan Ruhut sebagai ketua, bukan malah bertanya kepada peserta sidang, yang memicu keributan dan berujung pada batalnya pelantikan.

Komentar Erick Thohir Usai Timnas Indonesia U-23 Gagal Tembus Olimpiade 2024

“Ini preseden tidak baik bagi DPR karena penunjukan pimpinan komisi di DPR merupakan konvensi atau kesepakatan yang telah disetujui semua pimpinan DPR dan pimpinan  fraksi,” kata Nurhayati.

Dalam kesepakatan yang disebut Nurhayati itu, Ketua Komisi III memang jatah Fraksi Demokrat. Dua ketua komisi itu sebelumnya, Benny Kabur Harman dan I Gede Pasek, juga merupakan anggota fraksi dari partai yang digagas Susilo Bambang Yudhoyono itu. Penunjukan Benny dan Pasek tidak pernah dipersoalkan. Ruhut ramai ditolak. 

Chand Kelvin Angkat Bicara Soal Acara Lamarannya, Dipenuhi Perasaan Haru Bahagia

Lantaran ramai ditolak itulah, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yang memimpin rapat penetapan kemarin itu, memutuskan menunda pelantikan Ruhut. Kasus ini mencetak sejarah di Senayan. Ruhut adalah orang pertama dalam sejarah parlemen RI yang ditolak dengan keras menjadi pemimpin komisi. “Fenomena penolakan Ruhut ini memang baru. Tradisi di DPR selama ini, setiap fraksi menghormati pilihan fraksi yang memiliki hak atas penunjukan itu,” kata Priyo.

Priyo mengaku kaget melihat penolakan anggota Komisi III yang begitu keras. Padahal, kata Priyo, jabatan ketua komisi III itu memang jatahnya Fraksi Demokrat, sesuai dengan kesepakatan awal dan perolehan kursi di DPR itu. Fraksi yang mendapat banyak kursi di DPR otomatis memegang lebih banyak pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR yang lain. Dengan alasan itu, Ruhut mestinya sah-sah saja menduduki posisi ketua.

Tetapi sistem kepemimpinan di tingkat fraksi di DPR bersifat kolektif kolegial. Artinya, kepemimpinan bersama. Di situlah celakanya Komisi III jika Demokrat memaksakan Ruhut ke kursi ketua. Ruhut bakal kesulitan memimpin dan bekerja sama dengan sejumlah fraksi yang sejak awal sudah keras menolak penetapannya sebagai ketua.  

Soal kerja sama itu juga dicemaskan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. “Sistem kolektif kolegial di DPR menuntut kemampuan untuk bekerja sama dengan fraksi-fraksi lain. Persoalannya ada pada komunikasi. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai kepemimpinan kolektif kolegial di DPR tidak jalan,” kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari.

Ahli hukum tata negara Saldi Isra pun merasa heran melihat fenomena penolakan terhadap Ruhut di DPR. “Oleh karena ketua komisi ditentukan dengan sistem jatah, maka menjadi aneh bila penunjukan Ruhut oleh Partai Demokrat dipersoalkan,” kata dia.

Saldi menegaskan bahwa penunjukan Ruhut merupakan konsekuensi logis dari sistem kapling atau jatah partai. “Figur yang mengisi posisi ketua dan wakil Ketua DPR serta ketua dan wakil ketua komisi, menjadi urusan domestik partai yang mendapat jatah. Artinya, DPR kali ini kena batu dari sistem yang mereka pilih sendiri,” ujar dia.

Aturan di tata tertib DPR

Demokrat menegaskan bahwa penunjukan Ruhut sebagai Ketua Komisi III adalah pergantian pimpinan, bukan pemilihan. Oleh sebab itu fraksi lain sama sekali tidak berhak untuk menolak Ruhut. Demokrat pun menilai penolakan itu merupakan masalah personal karena sebagian besar alasan anggota yang menolak Ruhut, lebih kepada masalah pribadi Ruhut.

Nurhayati berpendapat pasal yang digunakan Priyo dalam memimpin rapat pembahasan penetapan Ruhut tidak tepat. Selasa kemarin Priyo menggunakan Pasal 52 ayat (6) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib yang berbunyi, “Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.”

Menurut Nurhayati, seharusnya Priyo menggunakan Pasal 52 ayat (8) peraturan yang sama yang berbunyi, “Penggantian pimpinan komisi dapat dilakukan oleh fraksi yang bersangkutan untuk selanjutnya ditetapkan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR.”

Namun Priyo membantah pernyataan Nurhayati ini. Politisi Golkar itu menegaskan bahwa mekanisme yang ia terapkan dalam memimpin rapat pleno Komisi III sudah sesuai prosedur. “Saya tidak bisa langsung ketok palu Ruhut dilantik. Pemimpin harus adil, tidak boleh memihak. Beri kesempatan kepada anggota komisi untuk berpendapat. Kami tidak boleh sewenang-wenang,” katanya.

Priyo menegaskan bahwa semua pasal harus dipergunakan dalam rapat, tak bisa diambil sebagian saja. “Sebelum peristiwa kemarin, dalam pelantikan-pelantikan ketua komisi sebelumnya, pasal itu juga digunakan, dan semua berjalan lancar. Maka penolakan Ruhut yang di luar dugaan itu merupakan bagian dari demokrasi,” ujarnya.

Berikut selengkapnya delapan ayat yang tercantum dalam Pasal 52 Tata Cara Pemilihan Pimpinan Komisi dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib:

(1)    Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2)    Pimpinan komisi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3)    Komposisi pimpinan komisi dari masing-masing fraksi ditetapkan pada permulaan keanggotaan.
(4)    Fraksi yang mendapatkan bagian pimpinan mengajukan satu nama calon pimpinan komisi kepada pimpinan DPR untuk dipilih dalam rapat komisi.
(5)    Pemilihan pimpinan komisi dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
(6)    Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tecapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(7)    Pimpinan komisi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(8)    Penggantian pimpinan komisi dapat dilakukan oleh fraksi yang bersangkutan untuk selanjutnya ditetapkan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR.

Dengan demikian, meskipun Demokrat mengatakan bahwa penunjukan Ruhut adalah pergantian pimpinan dan bukan pemilihan, ayat 2, 4, 5, dan 6 dalam Pasal 52 Tata Tertib DPR justru dengan jelas mencantumkan kata “dipilih” dan “pemilihan”.

Selaras dengan Tata Tertib DPR, kata “dipilih” dan “pemilihan” juga tercantum dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang antara lain mengatur tentang pimpinan komisi DPR. Berikut selengkapnya bunyi pasal tersebut:

(1)    Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2)    Pimpinan komisi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3)    Pemilihan pimpinan komisi dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.

Lobi intensif

Fraksi Demokrat mengaku tidak akan mundur sejengkal pun dalam memperjuangkan Ruhut Sitompul menjadi Ketua Komisi III DPR. Penolakan terhadap Ruhut malah membuat Demokrat mengintensifkan lobi politik dengan fraksi lain. Demokrat tidak akan menggodok nama baru untuk menggantikan Ruhut sampai hasil final lobi politik itu membawa hasil atau bertemu jalan buntu.

“Kami menunggu hasil lobi. Nanti akan kami laporkan ke Dewan Pimpinan Pusat Demokrat,” kata Nurhayati. Sebelumnya ia telah melaporkan kasus penolakan terhadap Ruhut kepada Ketua Harian Partai Demokrat Syarif Hasan.

Demokrat masih punya waktu seminggu untuk melakukan berbagai upaya demi menaruh Ruhut sebagai Ketua Komisi III. “Saya merasa lobi kami belum efektif dan maksimal. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi saya,” ujar Nurhayati.

Sementara Priyo mengatakan, mekanisme rapat pleno minggu depan terkait penetapan Ruhut sebagai Ketua Komisi III tidak akan berubah. Jika Demokrat bersikukuh tidak mengganti Ruhut, maka rapat akan tetap lebih dulu meminta pendapat anggota Komisi III sebelum menyetujui Ruhut menjadi ketua. “Sekarang silakan Fraksi Demokrat mempertimbangkannya, mau mengganti Ruhut atau tidak. Pimpinan DPR akan membantu mencari solusi,” kata Priyo.

Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya