Ini Senjata Para Pengusaha Hadapi Pemilu

Wakil Ketua DPR Pramono Anung
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean
VIVAnews -
Kemenkominfo Mengadakan Talkshow Chip In “Waspada Rekam Jejak Digital di Internet”
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD mengubah sistem Pemilu Legislatif dari sistem proposional tertutup menjadi terbuka. Dalam sistem yang dipraktekkan pada Pemilu 2009, caleg tidak lagi bersaing hanya antar partai politik, tetapi antar individu.

PKS Terbuka untuk Bertemu Prabowo tapi Bukan untuk Menyusul PKB

Sistem ini, rupanya berimplikasi pada perubahan komposisi keanggotaan legislatif. Tahun 2009 hanya 30 persen anggota lama yang duduk di legislatif. Sementara 70 persen adalah wajah baru.
Kemenkominfo Gelar Talkshow “Rekam Jejak Digital di Ranah Pendidikan”


"Hal ini baru pertama kali dalam sejarah DPR, terjadi komposisi lama-baru di mana anggota baru lebih banyak dari anggota lama," kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pramono Anung, dalam disertasinya untuk meraih gelar doktoral, berjudul "Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif Terhadap

Konstituen", Jumat 25 April 2013.


Dalam disertasinya itu, Pram mengelompokkan legislator baru secara garis besar adalah: aktivis partai, aktivis kemasyarakatan, pengusaha, figur publik, pensiunan TNI dan Polri, serta mantan birokrasi.


Tetapi rupanya, pengusaha dan publik figur menjadi pendatang baru yang cukup dominan dalam komposisi keanggotaan DPR hasil Pemilu tahun 2009.


Implikasi lain dari perubahan sistem pemilu ini, juga mengakibatkan munculnya para saudagar, pengusaha atau pemilik modal ikut dalam kontestasi. Para saudagar inilah yang memiliki peluang lebih besar untuk duduk sebagai anggota dewan ketimbang para caleg lainnya. Mengapa?


Berdasarkan hasil penelitian Pram ini, diketahui senjata para saudagar ini adalah kekuatan modal. Dengan modal besar, memungkinkan mereka untuk memiliki akses lebih banyak pada media massa, jangkauan, dan intensitas kepada masyarakat serta ketersediaan materi kampanye "padat modal".


"Secara umum, hal ini tidak seimbang dan tidak adil jika dibandingkan dengan anggota legislatif dengan ketersediaan pembiayaan yang terbatas. Kampanye menjadi sangat mahal," kata Pram.


Sehingga, persoalan utama yang muncul, kata Pram, bahwa pengetahuan, sikap hingga keputusan dalam memilih masyarakat, bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat dan solusi yang ditawarkan para caleg.


Para saudagar yang bisa mengakses media sebagai alat kampanye, tentu sangat terbantu. Sebab, media memiliki jangkauan yang luas dan serentak memungkinkan pesan kampanye menjadi efisien.


Bahkan, media yang dikelola secara profesionalpun, juga tidak menutup kemungkinan membuka ruang kesepakatan antara pengelola media dan caleg saudagar ini. "Ini meminimalkan perjumpaan riil antara caleg dan masyarakat," ujar dia.


Namun, kata Pram, hal yang harus diperhatikan, adalah antara caleg dan karakter media, memiliki kemampuan manipulatif.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya