Dalami Pasal Santet, DPR Studi Banding ke Eropa

Dimyati Natakusumah (PPP).
Sumber :
  • Antara/ Ismar Patrizki
VIVAnews - Komisi III Bidang Hukum DPR akan melakukan kunjungan ke empat negara untuk membahas RUU KUHP dan KUHAP. Empat negara yang dituju adalah Belanda, Inggris, Perancis, dan Rusia.
Alasan Pemprov DKI Gelontorkan Rp 22,2 M untuk Perbaiki Rumah Dinas Gubernur

"Betul, memang KUHAP dan KUHP perlu melakukan studi komparatif, masukan, melihat dan mendengar secara langsung dari sumber yang menganut Eropa konstinental, kalau kita kan selama ini menganut Belanda," kata anggota Komisi III Dimyati Natakusuma di Gedung DPR, Jumat 22 Maret 2013.
Indonesia Penghasil Emisi Karbon Terbesar di Dunia, Tanam Lebih Banyak Mangrove Bisa Jadi Solusinya

Anggota Komisi III, kata Dimyati, akan dibagi menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing negara ada 15 orang berangkat. "Itu termasuk dengan sekretariat ya," kata dia. 
Ogah Pakai Pelampung, Bocah 6 Tahun di Cikarang Tewas Tenggelam di Kolam Renang

Rencananya, mereka akan kunker selama tiga hari. Tetapi belum diketahui kapan mereka akan berangkat. "Saya sendiri nanti ke Inggris."

Apa urgensinya? Menurut Dimyati, banyak pasal yang bisa dipelajari di empat negara tujuan itu. Misalnya saja, pasal santet, juga dapat didalami di negara itu. "Santet itu bagian dari sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Itu (santet) subnya. Ini perlu pengaturan-pengaturan," ujar dia.

Dalam RUU KUHP itu, santet tercantum dalam Pasal 293 ayat (1), yang bunyinya: Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental  atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Sementara, ayat (2) berbunyi: Jika pembuat tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya  dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya