- Antara/ Ismar Patrizki
VIVAnews - Pemilihan kepala daerah tidak langsung yang diusulkan dalam Rancangan Undang-undang Pilkada yang tengah digodok pemerintah dan DPR memicu polemik baru.
Tidak hanya soal rakyat yang tidak bisa lagi memilih wakilnya secara langsung seperti Pemilukada DKI Jakarta yang baru saja rampung, soal biaya yang diklaim lebih murah juga dipertanyakan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mematahkan argumen biaya murah ini. "Kalau kita bisa mengatur dan membatasi biaya kampanye, apakah masih mahal? Ada jaminan memang kalau kembali ke DPRD, biaya tidak mahal?" kata dia saat dihubungi VIVAnews, Selasa.
Mahal atau tidaknya biaya pilkada sangat tergantung bagaimana negara bisa mengatur biaya-biaya minimal dalam berkampanye. Juga sosialisasi pola kampanye yang murah.
Ganjar lalu memaparkan biaya menjadi seorang legislator di daerah yang bisa mencapai Rp1 miliar. Anggaran ini sudah termasuk untuk kampanye. "Darimana mereka bisa mengembalikan modal ini? Dari pilkada. Uang cepat karena gaji mereka tidak seberapa, kecuali untuk DKI Jakarta," imbuhnya. "Jadi tidak ada jaminan (kepala daerah dipilih) kembali ke DPRD, biaya politik akan murah."
Selain itu, jika pilkada dikembalikan ke DPRD, bagaimana nasib calon perseorangan. "Apa ada yang mau memilih mereka?"
Ganjar sendiri menawarkan solusi yang dia sebut asimetri. "Daerah-daerah boleh pilkada langsung jika memenuhi syarat."
Pertama, imbuhnya, ada pendapatan minimum per kapita yang cukup. Asumsinya, jika per penduduk cukup kenyang, "Suara dia tidak akan bisa dibeli."
Kedua, ada indikator pendidikan yang cukup. "Misalnya lulusan SLTA ada sekian persen." (umi)