Nur Hidayat Sardini

Santri Pengawas Pemilu

VIVAnews -  Sebelum menjadi Ketua Badan Pengawas Pemilu, mungkin hanya warga Semarang khususnya civitas akademika Universitas Diponegoro yang mengenal Nur Hidayat Sardini. Pria berusia 39 tahun ini adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Namun mulai 2008 ini, Nur jadi nakhoda lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu 2009: Badan Pengawas Pemilu.

Nur dilahirkan 10 Oktober 1969 di Pekalongan, Jawa Tengah. Dia  sulung dari lima bersaudara, anak dari ayah seorang pegawai Departemen Agama dan sekaligus aktivis Barisan Serba Guna Nahdhatul Ulama (NU) dan ibu yang bergiat di Fatayat dan Muslimat NU. Jadilah Nur besar di tengah keluarga santri NU. “Pagi bersekolah, sore hari ikut pendidikan Diniyah (sekolah agama Islam—red),” kenang Nur saat ditemui di apartemen dinasnya, di lantai 6 Tower 14 Taman Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan, awal Oktober 2008 lalu.

Pada usia belia, Nur sudah fasih membaca Al Quran dan kitab kuning. Tapi ”Saya juga suka baca Kho Ping Ho,” terang Nur tergelak. Minat bacanya yang tinggi cukup mendapat penyaluran. Orang tuanya yang pegawai negeri cukup mampu memenuhi dan memang memiliki pengetahuan.

Sejak masih di sekolah menengah pertama, Nur sudah aktif berorganisasi. Dia bergabung dengan Ikatan Putra Nahdhatul Ulama (IPNU) ketika sekolah di SMP Islam Simbang Wetan, Buaran, Pekalongan. Tamat SMP Islam, Nur memilih bersekolah di SMA Negeri 2 Pekalongan meski orang tuanya menghendaki dia belajar di pendidikan berbasis agama seperti Madrasah Aliyah. ”Ibu sempat meratapi,” kata Nur.

Namun Nur bisa menepis kerisauan orang tuanya. Sulung lima saudara itu beralasan bahwa untuk maju harus keluar dari kepompong.  Itu sebabnya usai merampungkan  SMA 2 Pekalongan, dia hijrah ke Semarang, melanjutkan pendidikan di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro. Di situ semangat berorganisasinya kian bergelora. Bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga aktif di kelompok studi dan pers mahasiswa.

Ketika menjadi pegiat pers mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik “Opini”, Nur sempat berurusan dengan aparat keamanan. Saat itu tahun 1993, ketika kekuasaan Orde Baru sangat kuat mencengkeram, bersama kawan-kawannya Nur menerbitkan laporan tentang Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tema utamanya berjudul “Dwi Fungsi ABRI: Inkonstitusional”. Bukan hanya itu, masih pada edisi itu juga, muncul tulisan wawancara dengan tokoh Petisi 50 Ali Sadikin dan sastrawan jebolan Pulau Buru, Pramudya Ananta Toer. ”Beruntung tidak sampai dipenjara,” kata Nur terkekeh.

Pengalaman berurusan dengan aparat itu tidak menyurutkan nyalinya berorganisasi dan melancarkan kritik. Dia terus beraktifitas di HMI hingga menjadi pengurus Badan Koordinasi. Di kampus, Nur pernah pula merasakan menjadi anggota Senat Mahasiswa. Nur pun lalu kenal dekat dengan dosen-dosen dan pejabat kampus. Begitu lulus, awal 1997, Nur ditawari menjadi staf pengajar di almamaternya.

Namun darah berorganisasi Nur tak terus surut setelah menjadi dosen. Kegiatannya semakin menjadi-jadi. Sejak 1997 sampai 2003, Nur merupakan Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES) Semarang. Tahun 1999, Nur membentuk Local Legislative Watch (LLW), Jawa Tengah, bersama teman-temannya. Maish tahun yang sama, Nur menjadi anggota Badan Pekerja Forum Kota Semarang. Lalu 2000-2002, Nur menjadi Kepala Divisi Komunikasi Semarang Corruption Collution and Nepotism Watch. Pada tahun 2003, Nur terpilih menjadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Jawa Tengah.

Tahun 2003 itu juga Nur mengakhiri masa lajangnya di usia 34 tahun.  Pengampu mata kuliah teori politik ini mengakhiri masa lajangnya pada usia 34 tahun. Dia menyunting mahasiswinya di Universitas Diponegoro, Endang Riagustrianingsih. Uniknya, Nur mengaku tidak berpacaran terlebih dahulu dengan Endang. Dia mengaku bertemu pada semester awal istrinya itu kuliah. ”Ketika itu biasa-biasa aja,” katanya. Nur tertarik memberanikan diri melamar Endang pada 2003 lalu ketika diundang menjadi pembicara sebuah seminar di Semarang. Endang adalah panitia seminar itu. ”Nah, ketika itu dia terlihat manis,” ujarnya. Acara selesai, Nur Hidayat menghampiri. Dia menyatakan ingin menikahi. ”Saya tidak butuh pacar, tapi mencari jodoh. Tolong direnungkan,” katanya ketika itu. Tiga minggu kemudian, dia mendapat jawaban positif. Mereka lalu menikah.

Karena terpilih menjadi Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur terpaksa berpisah tempat tinggal dengan Endang dan anak mereka, Fairly Visnumurti Hidayat. Nur Hidayat tinggal di Jakarta menempati apartemen yang disediakan pemerintah sebagai pengganti rumah dinas bersama dua stafnya. Istrinya tinggal di Semarang sambil menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Negeri Semarang. ”Alhamdulillah, istri bisa mengerti pekerjaan saya. Tiap hari harus telepon-teleponan,” ujarnya. Dua minggu sekali Nur Hidayat menengok istrinya di Semarang. Sebaliknya, kalau istrinya longgar, ke Jakarta. ”Beginilah, di sini menjadi lajang,” pungkasnya.

Dan Nur pun tercatat sebagai ketua pertama dari Badan Pengawas Pemilu yang bersifat permanen, bersama Wahidah Suaib, SF Agustiani Tio FS, Bambang Eka Cahya Widodo dan Wirdyaningsih.

Terpopuler: Manfaat Belimbing Wuluh sampai Tanggapan Buya Yahya Soal Kasus Inses
Masyarakat Diimbau Waspada Terhadap Penawaran Paket Umrah dan Haji Harga Murah

Masyarakat Diimbau Waspada Terhadap Penawaran Paket Umrah dan Haji Harga Murah

Masyarakat diimbau untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya dengan pihak yang menawarkan paket umrah dan haji khusus dengan harga terjangkau.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024