PPP: Pasal Penghinaan Presiden Jangan Sampai Bungkam Kritik

Sidang Paripurna DPR
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR RI belum memutuskan sikap menolak atau menerima usulan memasukkan pasal tentang penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Presiden Jokowi Santai UU Amnesty Digugat

Fraksi PPP akan lebih dahulu mengkaji secara mendalam usulan itu sebelum dibahas dalam Komisi III DPR. Ada sejumlah alasan mendasar sehingga usulan itu harus dikaji lebih cermat, di antaranya, pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.
Jokowi: Indonesia Bangga Raih Perak Pertama

Kalau dimasukkan lagi, ada kekhawatiran menjadi pasal karet atau pasal yang diterapkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pasal itu juga berpotensi dijadikan alat untuk membungkam kritik kepada pemerintahan. 
Ahok Ungkap Alasan Jokowi Sindir Keuangan Daerah

"Fraksi PPP akan melakukan kajian cermat atas putusan MK-nya terlebih dahulu, sebelum menentukan sikap apakah akan menolak pasal itu atau menerimanya dengan modifikasi unsur-unsur pidananya," kata Juru Bicara Fraksi PPP DPR RI, Asrul Sani, saat dihubungi pada Senin, 3 Agustus 2015.

Asrul mengakui ada usulan mengenai pencemaran nama baik tidak masuk lagi dalam ranah hukum pidana tetapi dalam hukum perdata. 

"Ya, usulan itulah yang nanti bisa menjadi masukan. Saya masih akan mendengarkan argumentasi yang mengusulkan, baik secara akademik maupun aspek praktik," kata Asrul.

Dia menjelaskan bahwa dalam pembahasan revisi KUHP, Komisi III DPR akan mendengarkan masukan banyak pihak sebelum menolak atau menerima usulan memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden.

"Dalam pembahasan atas pasal yang memiliki aspek sensitivitas publik tinggi seperti halnya pasal penghinaan terhadap kepala negara ini, DPR tentunya akan mendengarkan pendapat, baik dari para ahli, akademisi, praktisi hukum maupun kalangan masyarakat sipil yang memiliki concern (perhatian) atas pasal tersebut," ujar Asrul.

Usulan

Usulan revisi KUHP itu diajukan Presiden Joko Widodo. Kepala Negara menyodorkan 786 pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHP kepada DPR untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015. 

Dari ratusan pasal yang disodorkan, Jokowi menyelipkan satu pasal mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal itu sudah dihapuskan MK pada 2006.

Praktisi hukum Eggy Sudjana, selaku pihak yang mengajukan uji materi Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden pada 2006, mengatakan MK telah mencabut pasal itu karena tidak jelas batasannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal itu kini diupayakan 'dihidupkan' kembali oleh pemerintahan Jokowi dengan memasukkannya ke dalam RUU KUHP yang akan dibahas DPR. Klausul itu tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi:

"Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya